Abstrak
Hukum
Islam (fiqh) merupakan hasil penalaran para ulama terhadap teks-teks keagamaan
(al-Qur’an dan Sunah) dalam konteks ruang dan waktu yang bersifat partikular.
Proses penalaran tersebut melibatkan sejumlah metode dan pendekatan dalam upaya
memahami dan menafsirkan teks-teks keagamaan. Kendati demikian, dari perspektif
metodologi kontemporer, model-model pembacaan yang diintrodusir oleh ulama
klasik cenderung bersifat normatif dan tekstual. Oleh karena itu, para pemikir
Islam kontemporer berupaya mereformulasikan kembali metodologi pembacaan
teks-teks keagamaan dengan mengadaptasi pelbagai pendekatan mutakhir untuk
memperkaya pendekatan tradisional. Pendekatan-pendekatan mutakhir ini mencoba
memberikan ruang yang lebih luas terhadap aspek-aspek kontekstual dalam proses
pembacaan teks-teks keagamaan dengan cara merumuskan matriks yang proporsional
antara elemen-elemen pengarang, teks dan pembaca untuk menghindari literalisme
dan otoritarianisme dalam proses penafsiran.
Kata
kunci: teks, konteks, pengarang, pembaca, otoritarianisme.
Pendahuluan
Interpretasi
terhadap teks-teks keagamaan merupakan langkah yang sangat penting untuk
menyingkap makna dan signifikansi pesan-pesan Tuhan sebagai acuan dan pedoman
kehidupan umat Islam. Namun demikian, upaya menafsirkan teks-teks keagamaan
sebagai suatu ikhtiar untuk menangkap “kebenaran” yang diwahyukan oleh Tuhan
melibatkan sejumlah prosedur dan mekanisme yang kompleks. Dalam konteks ini,
para ulama telah memformulasikan ilmu ushûl al-fiqh sebagai perangkat
metodologi baku untuk menggali dan memahami pesan-pesan Tuhan dalam bidang
hukum Islam (fiqh).
Namun
demikian, saat ini produk-produk hukum Islam klasik dianggap mandul karena
peranan kerangka teoretik ushul fiqh dirasakan kurang relevan untuk merespons
dan memecahkan problem-problem masyarakat Muslim kontemporer. Banyak pemikir
Islam yang menyatakan bahwa produk hukum Islam yang tersedia saat ini mengidap
dilema-dilema yang mesti dikritisi secara lebih mendalam, sehingga fiqh sebagai
proses ijtihâdî dapat bergaung kembali di zaman yang secara sosial-kultural
sangat berbeda dengan zaman di mana fiqh dikonstruksi dan dikodifikasi. Kondisi
inilah yang memicu munculnya tawaran-tawaran metodologis baru dari para pemikir
Islam kontemporer untuk menggali hukum Islam dari sumber-sumber aslinya agar
lebih sesuai dengan dinamika perubahan zaman.
Banyak
pemikir Islam kontemporer menyatakan bahwa salah satu faktor utama yang
menimbulkan wajah kemandulan hukum Islam adalah kecenderungan kuat umat Islam
dalam menafsirkan teks-teks keagamaan secara literal-tekstual dan mengabaikan
konteks pembentukan hukum Islam yang bersifat historis dan partikular. Faktor
lain adalah maraknya kecenderungan glorifikasi “masa lalu” di tubuh umat Islam,
yakni suatu trend yang menempatkan masa tertentu yang diidentifikasi sebagai “al-salaf
al-shâlih” sebagai masa keemasan Islam sehingga diposisikan sebagai
standar kebenaran bagi setiap pemikiran dan perilaku umat Islam generasi
berikutnya. Alhasil, rumusan hukum dan metode istinbâth (penemuan atau
penyimpulan hukum) yang diintrodusir para ulama terdahulu dianggap final sehingga
tidak membuka ruang untuk pengembangan lebih lanjut.[1]
Pendekatan
terhadap hukum Islam yang didasarkan pada pemahaman tekstual ini pada muaranya
tidak hanya menyebabkan kurang tersentuhnya problem-problem umat secara riil,
tetapi juga kerap bertentangan dengan makna, substansi dan karakteristik hukum
Islam yang dinamis. Doktrin dan ajaran Islam memang bersifat universal, tetapi
respon historis manusia ditandai oleh perbedaan dan keragaman sesuai dengan
konteks ruang dan waktu yang melingkupi keberadaan mereka.[2]
Oleh karena itu, penafsiran terhadap teks-teks keagamaan harus senantiasa
memperhatikan realitas sosial-kultural agar memperoleh pemahaman yang lebih
aplikatif dan realistis sehingga tercipta hukum yang kompatibel dengan
kebutuhan masyarakat modern.
Tujuan
Pembentukan Hukum Islam
Islam adalah agama samawi yang bersumber kepada
al-Qur’an, yakni wahyu Allah yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad
saw. Al-Qur’an merupakan kumpulan nilai-nilai dasar untuk menata kehidupan umat
manusia. Nabi Muhammad saw. diutus Allah untuk mempromosikan dan mempraktikkan
nilai-nilai dasar itu ke dalam kehidupan masyarakat. Beliau mempraktikkan
nilai-nilai ajaran al-Qur’an menurut budaya masyarakat Arab, karena beliau
adalah orang Arab dan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah beliau adalah
bangsa Arab. Keseluruhan tradisi yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw. di
bawah naungan dan pedoman al-Qur’an ini disebut Sunah. Sepeninggal Rasulullah
saw., para sahabat melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh beliau itu selama
ratusan tahun, sehingga mereka berhasil mencapai tingkat kehidupan masyarakat
yang paling tinggi peradabannya saat itu. Prestasi itu dapat direalisasikan
karena mereka menggali nilai-nilai luhur kandungan al-Qur’an dan Sunah serta
menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.
Ketika kehidupan masyarakat Muslim sudah
semakin maju, kebutuhan kepada aturan-aturan hukum yang jelas semakin
dirasakan. Namun demikian, ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan Sunah
masih belum terperinci dan belum tersistematisasi. Para ulama kemudian berusaha
memahami kedua sumber tersebut dan menyusun hasil pemahamannya menjadi sebuah
korpus hukum Islam, yakni fiqh. Tujuan pembentukan hukum Islam tersebut adalah
agar masyarakat Muslim dapat dengan mudah menata kehidupan mereka dalam bidang
ibadah, muamalah, jinayah, akhlak dan lain-lain menurut petunjuk al-Qur’an dan
Sunah yang telah disistematisasi tersebut. Meskipun masyarakat Muslim waktu itu
berbahasa Arab, namun untuk memahami maksud kedua sumber ajaran Islam bukan
perkara mudah. Dengan demikian, fiqh yang sekarang kita pelajari—seperti fiqh
Hanafi, fiqh Maliki, fiqh Syafi’i dan fiqh Hambali—sesungguhnya merupakan hasil
pemikiran–pemikiran mereka dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an
dan Sunah.[3]
Karena merupakan hasil pemikiran ulama, maka fiqh bersifat relatif.
Kedudukannya sama dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti Ilmu Tafsir, Ilmu
Hadis, Ilmu Kalam dan sebagainya.[4]
Maka, jika suatu produk fiqh tidak cocok untuk mewujudkan kemaslahatan
kehidupan suatu masyarakat karena berbeda konteks ruang dan waktunya, bisa saja
produk fiqh itu diabaikan dan dicari format baru dengan mengacu kepada
nilai-nilai dasar yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunah.
Dengan demikian, fiqh pada dasarnya berbeda
dengan syariah. Syariah adalah al-nushûsh al-muqaddasah dan al-sunnah
al-mutawâtirah yang murni, tetap dan tidak mengalami perubahan sepanjang
masa. Syariah merupakan totalitas petunjuk yang diwahyukan Allah kepada Nabi
berkaitan dengan agama, nilai moral dan peraturan hukum praktis yang bersifat
doktriner, pasti, dan tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, fiqh merupakan
hasil pemahaman dan interpretasi manusia terhadap al-nushûsh al-muqaddasah
dan al-sunnah al-mutawâtirah tersebut. Fiqh adalah hasil proses
penalaran (ijtihâd) manusia terhadap al-Qur’an dan Sunah. Oleh karena
itu, fiqh bersifat relatif, variatif, dan dinamis sesuai dengan konteks ruang
dan waktu serta tingkat kemampuan daya nalar manusia. Kendati demikian,
relativitas dan pluralitas fiqh itu tetap berkisar dalam ruang lingkup
probabilitas makna dari teks al-Qur’an dan Sunah atau dalam ruang lingkup
substansi makna dari sumber utama tersebut.[5]
Suatu hal yang patut kita cermati dalam
pemikiran fiqh pelbagai mazhab adalah bahwa biasanya pemikiran fiqh dimulai
dari adanya kasus lantas dicarikan status hukumnya melalui pelbagai penalaran
hukum. Jika tidak diperoleh dalil dalam al-Qur’an maupun Hadis yang berkenaan
dengan masalah tersebut, para imam mazhab kemudian menggunakan metode yang
berbeda dalam menggali hukum Islam. Imam Abu Hanifah lebih banyak menggunakan
metode istihsân, Imam Malik lebih cenderung
mendahulukan ‘urf penduduk
Madinah dan istishlâh,
Imam Syafi’i lebih
mengutamakan qiyâs, sedangkan Imam Ahmad lebih suka menggunakan hadis dha‘îf
ketimbang ra’y.[6]
Karena pergumulan fiqh berangkat dari upaya menyelesaikan kasus, maka fiqh
menjadi kurang terfokus kepada masalah-masalah yang strategis yang justru
sangat membutuhkan pemikiran sistematis. Pemikiran terhadap masalah-masalah
mikro/partikular (juz’iyyah) memang
tidak salah sama sekali, tetapi kalau kemudian melupakan masalah-masalah yang
bersifat makro/universal (kulliyyah),
maka hal itu suatu kekeliruan besar.
Di samping itu, fiqh banyak berkonsentrasi
kepada upaya mendeduksikan ayat. Artinya, produk fiqh yang kita miliki berupa
deskripsi hasil analisis terhadap makna teks. Akibatnya, fiqh hanya bersifat
formal dan banyak ditemui dalam pemikiran fiqh bahwa yang penting hukum dapat
dikembalikan secara formal kepada bunyi teks al-Qur’an atau Hadis. Tak jelas
untuk kepentingan apa produk hukum itu diperuntukkan, tak menjadi soal apakah
hukum itu dalam kenyataan historisnya telah menyentuh kemaslahatan orang banyak
atau hanya menyantuni kepentingan sekelompok tertentu. Oleh karena itu, tak
mengherankan apabila wajah fiqh kita tampak dingin, kurang menunjukkan
pemihakan (engagement) terhadap
kepentingan kemaslahatan masyarakat.[7]
Padahal, tujuan yang hendak direalisasikan oleh hukum Islam adalah kemaslahatan
umat manusia. Tujuan ini dicanangkan oleh Islam agar manusia memperoleh
kebahagiaan sejati, lahir-batin, duniawi-ukhrawi. Akan tetapi, kadang kala
karena keterbatasan kemampuan manusia mengungkap makna yang terkandung di dalam
teks al-Qur’an dan Hadis, karena terlalu terikat kepada bunyi teks (nashsh) seperti yang dipromosikan oleh
paham tekstualis atau ortodoksi, maka kemudian kemaslahatan yang dicanangkan
itu tidak bisa direalisasikan.
Kecenderungan kepada pemahaman yang tekstualis
dan formalistik ini pada dasarnya sudah mencuat sejak zaman awal Islam. Salah satu
eksemplar yang cukup populer adalah kasus harta rampasan perang pada masa
khalifah Umar ibn Khattab. Ketika Sawad (Iraq) ditaklukkan oleh tentara Islam,
banyak harta rampasan perang yang dapat dikuasai umat Islam. Di antara harta
rampasan perang itu adalah beberapa bidang lahan pertanian yang subur. Umar ibn
Khattab selaku khalifah waktu itu bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk
menetapkan pemanfaatan tanah tersebut. Mayoritas sahabat yang diwakili oleh
Bilal ibn Rabah dan Abdurrahman ibn Auf berpendapat bahwa tanah pertanian itu
hendaknya dibagikan kepada prajurit yang ikut perang sebagaimana petunjuk Q.S. al-Hasyr/59
: 7 dan praktik yang dilakukan oleh Nabi saw. Umar tidak sependapat dengan
mereka jika tanah tersebut harus dibagikan kepada tentara yang ikut perang. Ia
bermaksud hendak membiarkan tanah itu tetap dikuasai oleh penduduk setempat
dengan ketentuan mereka harus membayar retribusi (kharâj) tertentu
kepada pemerintah. Alasan Umar, jika tanah itu dibagikan kepada tentara, belum
tentu mereka bisa mengolah tanah tersebut dengan baik, karena mereka tidak
terbiasa dengan usaha pertanian, yang pada gilirannya dapat menimbulkan
konsekuensi menurunnya hasil pertanian. Tetapi dengan membiarkan tanah tersebut
tetap dikuasai oleh penduduk setempat, maka ada beberapa maslahat atau manfaat
yang bisa diambil, yaitu: (1) penduduk tidak kehilangan mata pencaharian karena
tanahnya tetap dalam penguasaan mereka; (2) hasil pertanian masih dapat
dipertahankan sebagaimaana biasa karena mereka telah berpengalaman mengolah
tanah tersebut; dan (3) negara memperoleh income
dari penarikan retribusi penggarapan tanah itu yang dapat digunakan
membiayai/menggaji tentara dan keperluan lainnya.[8]
Apa yang dilakukan Umar itu secara tekstual
terkesan mengabaikan ketentuan Q.S. al-Hasyr/59 : 7 dan Sunah
Rasulullah. Dengan kata lain, Umar mengesampingkan alasan lafzhiyyah (literal) dan lebih mendahulukan alasan ma‘nawiyyah
(substansial), yakni maslahat yang terasa lebih kuat. Itu artinya bahwa Umar
lebih mengutamakan pertimbangan maslahat ketimbang unsur legal formal. Tindakan
Umar tersebut sangat relevan dengan jiwa hukum Islam karena tumpuan akhir (ghâyah) syariah adalah terwujudnya
kemaslahatan. Artinya, di mana saja ada kemaslahatan di situ hukum Allah tegak
berdiri.[9]
Karena kemaslahatan manusia menjadi dasar bagi setiap macam hukum Islam, maka
sudah menjadi kelaziman yang masuk akal apabila hukum itu mengalami perubahan
disebabkan oleh berubahnya zaman dan situasi serta pengaruh dari gejala-gejala
kemasyarakatan.[10]
Narasi di atas paling tidak
menunjukkan kepada kita bahwa sejarah kaum muslimin sejak semula sudah ditandai
oleh diskusi dan perdebatan intelektual yang dinamis, bahkan kerap menimbulkan
friksi yang cukup tajam antara para penganut paham tekstual-tradisional versus
pengikut paham kontekstual-rasional. Meskipun tidak selalu atau
sepenuhnya, para pengikut aliran pertama seringkali lebih menekankan argumen
teks berdasarkan apa yang tersurat (literal). Sementara para penganut aliran
kedua lebih memfokuskan pada makna batin suatu teks. Seorang tekstualis lebih
mengutamakan tafsîr dan menghindari ta’wîl sejauh hal itu dapat dilakukan.
Sedangkan seorang rasionalis sering menggunakan ta’wîl dan bahasa majâz (metafora). Mereka mengambil sumber tekstual
sepanjang masuk akal.
Perdebatan antara kedua aliran tersebut juga terjadi dalam tradisi
hukum Islam. Dalam konteks ini, perdebatan terjadi hampir dalam seluruh isu-isu
hukum Islam. Istilah yang populer untuk kedua kelompok ini adalah “ahl al-hadîts”
dan “ahl al-ra’y”, atau ahli hadis dan ahli fiqh. Dalam khazanah
pemikiran Islam kontemporer, dua istilah itu biasa diterjemahkan kaum tradisionalis
dan kaum rasionalis atau kaum literalis dan kaum substansialis. Meskipun
demikian, kedua sudut pandang atau cara pemahaman atas teks tersebut pada
dasarnya bisa digunakan sejauh tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syari‘ah
(maqâshid al-syarî‘ah) dan kemaslahatan umum (al-mashlahah
al-‘âmmah). Dalam konteks ini, kiranya menarik apa yang dikatakan Ibn
Rusyd, filosof, ahli fiqh besar mazhab Maliki:
وان كانت الشريعة
نطقت به فلا يخلو ظاهر النطق ان يكون موافقا لما ادى اليه البرهان فيه او مخالفا،
فإن كان موافقا فلا قول هنالك، وان كان مخالفا طلب تأويله
“Teks-teks agama ada yang sejalan dengan akal pikiran ada yang
(tampaknya) tidak. Jika sejalan, maka tidak ada masalah, tetapi jika
(tampaknya) bertentangan dengan nalar, maka perlu diinterpretasi.”[11]
Dengan demikian, jelaslah bahwa hal
fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam adalah kemaslahatan umat manusia,
yang dalam bahasa operasionalnya dikatakan bahwa tujuan hukum Islam adalah
merealisasikan keadilan sosial. Tawaran teoretis dan metodologis apa pun dan
bagaimana pun, asal bisa menjamin terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan, dalam
kacamata Islam, adalah absah dan umat Islam terikat untuk mengambil dan
merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoretis dan metodologis apa pun dan
bagaimana pun yang secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya kemaslahatan,
lebih-lebih dapat membuka kemungkinan terjadinya kemudharatan, dalam kacamata
Islam, adalah fâsid dan umat Islam
baik secara personal maupun kolektif terikat untuk mencegahnya.[12]
Teks dan Konteks dalam
Diskursus Hukum Islam
Penalaran terhadap teks (nashsh) dalam
tradisi hukum Islam pada mulanya bertujuan untuk memformulasikan atau menemukan
hukum (istinbâth al-hukm) dalam rangka merealisasikan
kemaslahatan umat manusia. Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dikenal tiga
metode penalaran hukum (ijtihâd), yaitu: (1) metode bayânî; (2)
metode ta‘lîlî (qiyâsî); dan (3) metode istishlâhî.[13]
Metode bayânî adalah upaya penemuan hukum melalui
interpretasi kebahasaan. Konsentrasi metode
ini lebih berkutat pada ikhtiar penggalian makna teks berdasarkan gejala-gejala
dan indikator-indikator lingusitik. Metode ini memiliki kelemahan mendasar jika
dihadapkan oleh permasalahan-permasalahan baru yang hanya bisa diderivasikan
dengan makna yang terkesan jauh dari teks. Metode ini lebih banyak melakukan
reproduksi makna ketimbang memproduksi makna baru. Meskipun demikian, metode
inilah yang berkembang dan diaplikasikan oleh para mujtahid hingga abad
pertengahan dalam merumuskan pelbagai ketetapan hukum.
Metode ta‘lîlî berusaha meluaskan
proses berlakunya hukum dari kasus pokok ke kasus cabang yang memiliki
persamaan ‘illat. Dalam epistemologi
hukum Islam, pola ini diaplikasikan melalui metode qiyâs. Dasar rasional
aplikasi metode ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas
mengenai adanya suatu atribut (wasf)
pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap
kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum
kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang. Jika mencermati mekanisme
operasionalnya, metode ini terlalu memberi penekanan pada model penalaran
deduktif sehingga tidak cukup memadai ketika berhadapan dengan pelbagai
kasus-kasus empirik yang dialami oleh masyarakat Muslim kontemporer.
Metode istishlâhî didasarkan pada
prinsip tujuan-tujuan syariah (maqâshid al-syarî‘ah), yaitu untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia. Secara historis, metode ini dirintis oleh
al-Ghazali dengan
metode induksi dan tujuan hukumnya dan kemudian dielaborasi kembali oleh
al-Syatibi dengan metode induksi tematisnya. Metode ini pada dasarnya
lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial-empirik. Namun demikian,
metode ini tidak begitu berkembang dan jarang dipakai sebagai perangkat
ijtihad. Di samping itu, menurut sebagian pengamat, meskipun al-Ghazali dan al-Syatibi telah
merintis jalan pengembangan analisis sosial-empiris, tetapi dalam praktiknya,
karya-karya mereka masih terpusat pada analisis normatif-tekstual.[14]
Lemahnya analisis sosial-empiris inilah yang disinyalir oleh banyak pihak
sebagai satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode
penemuan hukum Islam selama ini.[15]
Kritik
terhadap kecenderungan normatif-tekstual dan lemahnya analisis sosial-empiris
dalam tradisi Islam ini sebenarnya pernah dilontarkan oleh Ibn Khaldun pada
masa pra-modern. Ibn Khaldun melontarkan kritik terhadap kecenderungan para
ulama Islam—sebagian besar dari mereka adalah para ulama ahli hadis—yang
mengabaikan konteks historis dalam proses mengindentifikasi Sunah Nabi. Dalam al-Muqaddimah,
Ibn Khaldun menyatakan:
Dalam hal riwayat, jika
seseorang hanya bersandar pada [metode] periwayatan tanpa menilai
[riwayat-riwayat itu] berdasarkan prinsip-prinsip tindakan manusia, asas-asas
politik, sifat dasar peradaban, dan kondisi-kondisi pergaulan sosial, serta tanpa
membandingkan sumber-sumber klasik dengan sumber-sumber kontemporer, masa kini
dengan masa lalu, niscaya orang tersebut akan terjerumus ke dalam kekeliruan
dan bisa melenceng dari kebenaran. Para sejarawan, penafsir [al-Qur’an] dan
perawi-perawi terkenal seringkali melakukan kesalahan karena menerima begitu
saja [otentisitas] riwayat dan peristiwa-peristiwa [tertentu]. Ini karena
mereka hanya bersandar pada periwayatan, tanpa memperhatikan apakah itu
bernilai atau tidak. Mereka tidak memeriksa [riwayat-riwayat itu dengan teliti]
dari sudut prinsip-prinsip [analisis historis yang bersifat mendasar] atau
membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain, atau mengujinya menurut
standar-standar kearifan, atau menyelidiki sifat dasar manusia. Di samping itu,
mereka tidak menetapkan otentisitas riwayat-riwayat itu berdasarkan
standar-standar penalaran dan pemahaman. Akibatnya, mereka melenceng dari kebenaran
dan tersesat di belantara kekeliruan dan khayalan.[16]
Pada hari ini, beberapa pemikir Islam
kontemporer berpendapat bahwa kecenderungan tekstualis yang berlebihan dalam
metode penemuan hukum telah menyebabkan hukum Islam cenderung gagap dalam
merespon dinamika perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in
book oriented dan kurang memperhatikan law in action—sebagai akibat
dari kecenderungan tekstualis dalam metodologinya—pada gilirannya telah mengakibatkan
hukum Islam terpelanting ke dalam tepian sejarah, bahkan sampai batas tertentu
mungkin mulai ditinggalkan karena tidak begitu releven dengan situasi aktual
umatnya. Dalam konteks ini, Hasyim Kamali mencatat 3 (tiga) karakteristik ushul
fiqh yang dominan, yaitu: (1) tidak mendukung efektifitas dan efisiensi
administratif, karena ditulis mengikuti style abad pertengahan serta
tidak mempunyai klasifikasi yang rapi; (2) fokus kajiannya tidak lagi relevan
dengan isu dan kondisi aktual umat Islam; dan (3) adanya tendensi scholastic
isolation yang melahirkan fanatisme madzhab dengan menutup diri untuk
respek pada kontribusi pemikiran lain.[17]
Lebih
dari itu, sebagaimana dikemukakan Khaled Abou El Fadl, praktik hukum Islam
dewasa ini cenderung memperlakukan hukum Islam sebagai perangkat aturan (ahkâm)
yang mapan, statis dan tertutup, yang harus ditetapkan tanpa menyisakan ruang
untuk pengembangan dan keragaman. Dengan kata lain, Islam pada masa modern ini
dipandang sebagai seperangkat aturan (ahkâm), bukan sebagai
sebuah proses pemahaman (fiqh), sehingga seruan untuk membuka pintu
ijtihad kontemporer terjebak dalam sebuah proses otoriter yang melahirkan
kodifikasi hukum yang tertutup.[18]
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, realitas tersebut terjadi akibat
menguatnya kecenderungan penafsiran saintifik (al-tafsîr al-‘ilmî)
terhadap teks-teks keagamaan dan maraknya praktik-praktik otoritarianisme (al-hâkimiyyah)
di kalangan umat Islam.[19]
Melihat
kenyataan tersebut, para pemikir Islam kontemporer berpendapat
bahwa upaya untuk melakukan pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan dan
tradisi hukum Islam merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Mereka
mengajak umat Islam untuk membangun suatu model pembacaan terhadap teks-teks
keagamaan dan tradisi hukum Islam secara kritis, komprehensif, tidak parsial,
serta memperhatikan konteks historis, sosial dan kultural untuk kemudian
dilanjutkan dengan penggalian signifikansi yang relevan dengan kondisi saat
ini. Pada
umumnya, mereka sepakat bahwa konteks merupakan variabel penting untuk memahami
dan menerapkan sebuah teks, karena teks tidak muncul dalam ruang hampa. Teks
tidaklah berbicara sendiri, ia dipahami, ditafsirkan, dirumuskan dan disistematisasi
oleh para ulama dari zaman ke zaman yang tidak lepas dari konteks ruang dan
waktu.
Dalam konteks ini, Fazlur Rahman—pemikir Islam
neo-modernis kelahiran Pakistan—menawarkan suatu model pembacaan dalam proses
interpretasi teks-teks keagamaan. Model yang ditawarkan oleh Rahman ini disebut
dengan istilah pendekatan “gerakan ganda” (double movement). Melalui pendekatan ini, seorang
pembaca pertama-tama harus memahami al-Qur‘an dalam urutan historis agar bisa
memahami perkembangan tema-tema dan ide-idenya. Selanjutnya, pembaca harus
memahaminya dalam latar belakang sosio-historisnya, tidak hanya terhadap
bagian-bagian partikular al-Qur’an saja—yang oleh para mufassir disebut dengan
istilah sebab-sebab turunnya al-Qur’an (asbâb al-nuzûl)—tetapi juga
terhadap al-Qur’an secara keseluruhan dengan latar paganisme Mekah. Tanpa
memahami latar belakang makro dan mikro ini secukupnya, besar kemungkinan pembaca
akan melakukan kesalahan besar dalam menilai secara tepat elan dasar dan tujuan
al-Qur’an serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.[20]
Menurut
Rahman, dalam bidang hukum, setiap pernyataan yang legal atau quasi-legal
senantiasa disertai oleh sebuah ratio legis yang menjelaskan mengapa
sebuah hukum dinyatakan. Untuk dapat memahami sebuah ratio legis secara
sempurna, pertama sekali pembaca harus mempelajari latar belakang
sosio-historis. Ratio legis merupakan inti, sedang legislasi yang aktual
merupakan perwujudannya asalkan tepat dan benar merealisasikan ratio legis
tersebut; jika tidak demikian, maka hukum tersebut harus diubah. Jika situasi
berubah sedemikan rupa sehingga hukum tidak lagi mencerminkan ratio legis
tersebut, maka hukum tersebut pun harus diubah. Sayangnya, walaupun mengetahui ratio
legis tersebut, ahli-ahli hukum tradisional Muslim pada umumnya
mempertahankan hukum yang harfiah dan mereka menegaskan sebuah prinsip bahwa
“walaupun sebuah hukum terjadi karena situasi yang spesifik tetapi aplikasinya
adalah universal.”[21]
Di lain
pihak, Nasr Hamid Abu Zayd—pemikir Islam kelahiran Mesir yang banyak mengambil
inspirasi dari Muhammad Abduh—menawarkan suatu model pembacaan yang ia sebut
“metode pembacaan kontekstual” (manhaj al-qirâ’ah al-siyâqiyyah). Metode ini pada dasarnya bukan temuan
baru, melainkan hasil pengembangan dari metode-metode ushul fiqh tradisional, di satu sisi, dan kelanjutan kerja keras
para pendukung kebangkitan Islam, khususnya Muhammad Abduh dan Amin al-Khully,
di sisi lain. Metode ushul dan
metode pembacaan kotekstual sama-sama menggunakan kaidah-kaidah ilmu-ilmu al-Qur’an, khususnya ilmu asbâb al-nuzûl dan nâsikh-mansûkh
sampai aspek kaidah-kaidah ilmu kebahasaan, sebagai perangkat pokok untuk
interpretasi dan melakukan pengambilan hukum dari teks. Bedanya, jika ushul fiqh menekankan pentingnya
latar turunnya al-Qur’an (asbâb al-nuzûl) untuk memahami suatu makna,
pembacaan kontekstual melihat permasalahan dari sudut pandang yang lebih luas,
yakni keseluruhan konteks sosial-historis abad ke-7 saat turunnya wahyu.
Melalui konteks itulah seorang penafsir dapat memilih antara otentisitas wahyu
dengan adat istiadat keagamaan atau sosial pra-Islam.[22]
Di
samping konteks sosial-historis dari masa sebelum turunnya wahyu, ada beberapa
level konteks lain yang harus diperhatikan dalam metode pembacaan kotekstual.[23]
Pertama, konteks keruntutan pewahyuan
(siyâq tartîb al-nuzûl), yaitu
konteks historis-kronologis pewahyuan, suatu konteks yang sama sekali berbeda
dengan urutan bacaan (tartîb al-tilâwah) surat-surat dan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Dalam kedua metode
tersebut ada dimensi historis dan kronologis yang diupayakan pemaduannya oleh
pembacaan kontekstual, karena masing-masing memilliki keistimewaan. Jika
membaca teks al-Qur’an sesuai dengan urutan turun dapat menyingkap makna-makna
dan indikasi-indikasinya, membaca teks sesuai dengan urutan bacaan dapat
menyingkap signifikiansi dan efek. Pembacaan historis (siyâq tartîb al-nuzûl) mampu
menyingkap perkembangan makna dalam struktur teks, misalnya makkî dan madanî, namun
tidak mampu mengungkap efek maknawi menyeluruh dari struktur permanen
al-Qur’an. Sebaliknya, pembacaan kronologis sesuai urutan bacaan berhasil
mengungkap pengaruh makna keseluruhan, namun dalam banyak kesempatan ia
mengabaikan masalah perkembangan makna.
Kedua, konteks naratif (siyâq
al-sard), yaitu konteks yang lebih luas yang meliputi apa yang dianggap
sebagai perintah atau larangan syara’ seperti yang disampaikan dalam bentuk
kisah atau penggambaran kondisi umat terdahulu, atau konteks bantahan terhadap
para penyerang atau orang-orang yang berusaha menghina al-Qur’an dan Muhammad.
Dengan konteks itu, penafsir dapat membedakan antara apa yang muncul melalui tasyrî‘ secara dasariah dan yang muncul
melalui gaya bahasa perdebatan (musâjalah), deskripsi (washf), ancaman dan janji (al-tahdîd al-wa‘îd) serta pelajaran dan peringatan (al-‘ibrah wa
al-maw‘izhah)
Ketiga, konteks level struktur
kebahasaan (mustawâ al-tartîb al-lughawî), yaitu
level yang lebih kompleks dibandingkan susunan gramatikal (al-tartîb
al-nahwî). Ia
memerlukan analisis terhadap relasi-relasi, seperti fashl (pemisahan) dan washl (penyambungan)
antara susunan-susunan gramatikal, relasi
taqdîm dan ta’khîr, implisitas (idhmâr) dan ekplisitas(izhhâr), penyebutan dan pembuangan (al-dzikr
wa al-hadzf) dan
pengulangan (tikrâr). Semua itu merupakan unsur-unsur yang mendasar dalam menyingkap
level-level makna.
Keempat, level analisis gramatikal
dan retoris (mustawâ al-tahlîl al-nahwi
al-balâgh) yang tidak hanya
berhenti pada batas-batas ilmu balaghah tradisional, tetapi juga memanfaatkan
perangkat “analisis wacana” (tahlîl al-khitâb) dan “analisis teks” (tahlîl al-nashsh).
Tawaran
metodologis lain muncul dari Khaled Abou El Fadl—Guru Besar Hukum Islam di
Universitas California Los Angeles (UCLA). Menurut Fadl, dalam rangka
menjunjung tinggi otoritas teks dan sekaligus membendung otoritarianisme
pembaca, maka diperlukan adanya interaksi yang proporsional antara pengarang (author),
teks (text), dan pembaca (reader) dalam upaya melahirkan makna.
Pada saat yang sama, harus ada sebuah proses negosiasi (negotiating process)
antara ketiga elemen tersebut sehingga salah satu pihak tidak mendominasi dalam
proses penetapan makna.[24]
Elemen
pertama adalah teks. Menurut Fadl, sebagai sebuah teks, al-Qur’an dan Sunah
merupakan “karya yang terus berubah” (works in movement)—keduanya adalah
karya yang membiarkan dirinya terbuka terhadap pelbagai strategi interpretasi.
Meskipun demikian, Fadl menegaskan bahwa kedua teks tersebut bukan berarti
terbuka bagi segala jenis interpretasi. Dengan pandangan demikian, Fadl hanya
hendak menegaskan bahwa al-Qur’an dan Sunah pada dasarnya mampu menampung gerak
interpretasi yang dinamis. Teks yang terbuka tidak hanya mendukung interpretasi
yang majemuk, tetapi juga mendorong sebuah proses penelitian yang mendudukkan
teks dalam posisi sentral. Pada akhirnya teks berbicara dengan suara yang
diperbaharui kepada masing-masing generasi pembaca, karena maknanya tidak
permanen dan berkembang secara aktif. Teks tetap relevan dan menduduki posisi
sentral karena keterbukaannya memungkinkan dirinya untuk terus menggemakan suaranya.
Selama teks bersifat terbuka, ia akan terus berbicara, dan selama ia berbicara,
ia akan terus relevan dan bermakna. Para pembaca akan senantiasa kembali
merujuk kepada teks karena teks dapat menghasilkan penafsiran dan pemahaman
baru. Sebaliknya, jika teks dibungkam suaranya, maka teks akan membeku dan mati
pada kali terakhir ia ditafsirkan. Pembunuhan teks ini terjadi ketika pembaca
bersikukuh bahwa teks mengandung makna yang telah ditentukan, stabil, tetap,
dan tidak berubah. Akibatnya, teks akan mati dan menjadi tidak relevan dengan
dimensi-dimensi ruang dan waktu yang berbeda.[25]
Dengan
demikian, dalam proses interpretasi, kita harus memahami kaidah bahasa sebuah
teks dalam konteks masa lalunya bukan untuk memahami makna sebenarnya dari
sebuah teks, tetapi untuk memahami dinamika antara teks dan penerima awalnya.
Secara khusus, jika kita sedang membicarakan sebuah teks yang memiliki dimensi
ketuhanan, mengkaji teks tersebut berdasarkan peristiwa historisnya merupakan
bagian dari pengakuan atas integritas teks. Namun, di antara bentuk pengakuan
atas integritas teks adalah mengakui bahwa teks memiliki daya hidup yang
konsisten dan berkelanjutan. Jika Tuhan benar-benar berbicara untuk semua masa
dan generasi, teks al-Qur’an tidak dapat dipahami sebatas konteks historisnya
saja. Oleh karena itu, setelah menganalisis relasi antara teks dan maknanya
pada masa lalu, seorang pembaca juga harus berupaya menghubungkan teks tersebut
dengan realitas masa kini.
Elemen
kedua adalah pengarang. Menurut Fadl, secara historis kehadiran sebuah teks
tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya. Ketika seorang pengarang menuliskan
sebuah teks, maka ia akan senantiasa bergelut dengan “simbol-simbol bahasa”
yang digunakan. Artinya, pengarang telah mewadahi dan mempercayakan makna yang
dikehendakinya ke dalam “simbol-simbol” linguistik yang digunakan sebagai
sebuah media yang dapat dipahami pembaca. Ketika teks telah ditulis pengarang
dan pengarang telah memisahkan dirinya dari apa yang dituliskannya, maka
otoritas pengarang tidak lagi berpengaruh terhadap teks. Jika teks telah
menjadi milik publik, maka pengarang tidak berhak melakukan intervensi kepada
pembaca atau publik dalam kebebasannya melakukan pencarian makna atas teks
tersebut. Persoalannya, bagaimana kita memosisikan elemen kepengarangan ini
dalam kaitannya dengan al-Qur’an? Apakah pembaca harus tetap memfokuskan diri
pada makna yang dikehendaki pengarang dan mempertimbangkannya sebagai faktor
yang menentukan makna teks tersebut?
Dalam
rangka menjawab pertanyaan ini, Fadl memberikan gambaran yang cukup memadai
tentang kisah Ali ibn Abi Thalib yang berseteru dengan kelompok Khawarij yang
mengklaim bahwa “semua hukum hanyalah milik Allah” (inna al-hukma li al-Lâh).
Dalam menangkis tuduhan tersebut, Ali mengumpulkan kaum Khawarij dan membawa
salinan al-Qur’an. Ali menyentuh al-Qur’an dan berkata: “Wahai al-Qur’an,
berbicaralah pada manusia!” Orang-orang di sekeliling Ali berkata gusar; “Apa
maksud kamu wahai Ali, apakah kau mengejek kami?” Kemudian Ali mengatakan bahwa
al-Qur’an hanyalah lembaran-lembaran kertas dan tinta yang tidak dapat
berbicara, manusialah yang berbicara atas nama al-Qur’an. Al-Qur’an hanya
ditulis dengan goresan di antara dua sampul yang tentu tidak dapat berbicara,
maka al-Qur’an perlu penafsir dan penafsirnya adalah manusia.
Berdasarkan
kisah Ali di atas, Fadl menandaskan bahwa sepeninggal Nabi Muhammad saw.,
otoritas pengarang (Tuhan) dalam konstruksi teks telah selesai. Persoalan yang
muncul adalah terkait dengan pembuktian sejarah dan pengujian otentisitasnya. Artinya,
bagaimana kita mengetahui bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan
atau Nabi Muhammad saw.—Fadl menyebutnya dengan istilah “kompetensi” otentisitas
teks. Kemudian persoalan yang muncul lagi adalah bagaimana menentukan otentisitas,
makna dan pelaksanaanya. Apakah pemaknan atas teks diserahkan kepada
kreatifitas pembaca atau harus membentuk sebuah lembaga khusus yang disebutnya
sebagai “perwakilan”. Melalui wakil-wakil inilah diharapkan dapat melahirkan
makna yang sesungguhnya terhadap makna yang dimaksud pengarang, teks maupun
pembaca. Menurut Fadl, problem kompetensi dan penetapan perwakilan memainkan
peranan penting dalam membentuk “pemegang otoritas” dalam diskursus
keislaman. Fadl kemudian menegaskan bahwa pengarang al-Qur’an adalah abadi,
hidup mengurus makhluk terus menerus, tidak pernah tidur dan menguasai seluruh
langit dan bumi. Karenanya, Tuhan sudah barang tentu tidak akan merelakan
wahyu-Nya diselewengkan dan dicatut oleh pembaca “atas nama Tuhan”.
Elemena
Ketiga adalah pembaca. Kehadiran pembaca di hadapan teks yang bisu menjadikan
teks mempunyai makna. Teks kini telah tersaji di hadapan pembaca dan sang
pengarang tidak lagi hadir mengawal teksnya di tengah kerumunan para pembaca.
Teks bergulir dengan sendirinya dan maknanya sangat bergantung pada siapa yang
membacanya. Oleh karena itu, Fadl tidak berupaya untuk menjadikan teks sebagai
sesuatu yang bergulir tanpa pengawalan. Kendati demikian, Fadl tidak sepakat
dengan sikap para pembaca yang sewenang-wenang menafsirkan teks, apalagi para
pembaca mencatut nama Tuhan atau menjadikan diri mereka sebagai Tuhan. Jika ini
yang terjadi, maka muncullah apa yang sebut oleh Fadl sebagai praktik
otoritarianisme pembaca. Otoritarianisme dimaksud merujuk pada sebuah
metodologi hermeneutika (hermeneutic methodology) yang merampas dan
menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks ke dalam pembacaan yang
sangat subyektif (a highly subjective) dan selektif (selective
reading). Subyektivitas yang selektif (selective subjectivity) dari
hermeneutika otoriter (authoritarian hermeneutics) ini melibatkan
penyamaan antara maksud pengarang (the authorial intent) dan maksud
pembaca (the reader’s intent), dengan memandang maksud tekstual (the
textual intent) dan otonomi teks (autonomy of the text) sebagai hal
yang bersifat sekunder. Dalam hal ini, kelaliman penafsiran terjadi ketika
seorang pembaca (reader) berusaha menyegel atau “mengunci” (lock)
teks dalam sebuah makna tertentu, sehingga merusak integritas pengarang (author)
dan teks (text) secara bersamaan.[26]
Oleh karena itu, Fadl merasa perlu membatasi otoritarianisme pembaca dengan
menyodorkan lima kriteria, yaitu: kejujuran, kesungguhan, pengendalian,
kemenyeluruhan dan rasional.
Pelbagai
tawaran metodologis yang telah dipaparkan di atas bagaimanapun merupakan hasil
ijtihad intelektual yang patut diapresiasi. Kendati demikian, karakteristik
normatif dan sifat sui-generis metode penafsiran dan penemuan hukum
Islam nampaknya merupakan trade mark yang tidak mungkin dirubah,
sehingga model-model pembacaan kontekstual yang ditawarkan oleh para pemikir
Islam kontemporer sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk menggantikan pendekatan
normatif hukum Islam, melainkan memperkaya pendekatan tradisional tersebut.
Pendekatan-pendekatan kontemporer pada dasarnya hendak mengingatkan bahwa
realitas sosial-kultural merupakan variabel penting dalam proses penafsiran dan
penemuan hukum Islam. Dengan demikian, normativitas hukum Islam perlu diimbangi
dengan apresiasi proporsional terhadap realitas sosial-kultural dalam setiap
analisis penyimpulan hukum. Dengan melibatkan realitas empirik ke dalam
analisis penemuan hukum, maka diharapkan hukum Islam dapat tampil secara lebih
kreatif dan produktif sehingga dapat menjembatani kebutuhan-kebutuhan
masyarakat Islam kontemporer. Pendekatan yang holistik dalam bidang hukum Islam
merupakan suatu keniscayaan yang perlu diformulasikan secara berkesinambungan
agar hukum Islam dapat terus menerus memainkan peranannya dalam pelbagai proses
regulasi masyarakat modern.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Falsafah
Kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A.,
Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for
Methodology and Thought, 2nd edition, Herndon, Virginia: IIIT,
1994.
Abu Zayd, Nasr Hamid, Al-Nashsh wa al-Shulthah wa
al-Haqîqah: Irâdah al-Ma‘rifah wa al-Irâdah al-Haymanah, Beirut:
al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2000.
________, Dekonstruksi
Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: SAMHA, 2003.
al-Dawalibi, Muhammad Ma’ruf, Al-Madkhal ilâ ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Damaskus: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1965.
Anwar, Syamsul, “Teori Hukum Islam
al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, dalam M. Amin Abdullah
(ed.), Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2002.
Efendi, Satria, “Mazhab-mazhab
Fikih sebagai Alternatif”, dalam Ibrahim Husen (ed.), Pembaharuan
Hukum di Indonesia, Jakarta: Putra Harapan, 1990.
El-Fadl, Khaled Abou, Speking
in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: Oneworld,
2001.
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah,
Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, t.th.
Ibn Rusyd, Fashl
al-Maqâl fî Mâ Bayna al-Syarî‘ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl,
Beirut: Markaz Dirâsah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1997.
Kamali, M. Hasyim, “Fiqh and
Adaptation to Sosial Reality”, dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No.
1, Januari (1996).
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada 2002.
Madjid, Nurcholish, dkk. Fiqh
Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 2005.
Mahmassani, Sobhi, Falsafah
al-Tasyrî‘ al-Islâm, Mesir: Dâr al-Kasysyâf li al-Nasyr,
1956.
Mas’udi, Masdar F., “Meletakkan
Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari’at”,
dalam Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI (1995).
Minhaji, Akh., “A Problem of
Methodological Approach to Islamic Law Studies”, dalam Al-Jami’ah Journal of
Islamic Studies, No. 63/VI (1999).
Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam,
Yogyakarta: UII Press, 2002.
Mudzhar, M. Atho, “Fikih dan Reaktualisasi
Ajaran Islam”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002.
Nuruddin, Amir, Ijtihad
Umar ibn Khattab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Rahman, Fazlur, Islam,
Bandung: Penerbit Pustaka, 2003.
_______, Tema-tema Pokok
al-Qur’an, Bandung: Penerbit Pustaka, 1996.
Rahmat, Jalaluddin, “Tinjauan Kritis atas Sejarah
Fikih: Dari Fikih Khulafaur Rasyidin hingga Mazhab Liberalisme”,
dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1986.
[1] Nurcholish Madjid dkk., Fiqh Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2005), h.
4-5.
[2] M. Amin Abdullah, Falsafah
Kalam di Era Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 227.
[3] M. Atho Mudzhar, “Fikih
dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam
Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
(Jakarta: Paramadina, 1995), h.
369.
[4] Lihat Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h. 208; dan Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada 2002), h. vii.
[5] Satria Efendi, “Mazhab-mazhab Fikih sebagai Alternatif”, dalam Ibrahim
Husen (ed.), Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Putra Harapan,
1990), h. 312.
[6]
Jalaluddin Rahmat, “Tinjauan Kritis atas Sejarah
Fikih: Dari Fikih Khulafaur Rasyidin hingga Mazhab Liberalisme”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah, h. 251-305.
[7] Masdar F. Mas’udi, “Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari’at”, dalam Ulumul Qur’an, No. 3
Vol. VI (1995), h. 96.
[8] Amir Nuruddin, Ijtihad
Umar ibn Khattab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h.
158.
[9]
Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, Al-Madkhal
ilâ ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Damaskus:
Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1965), h. 16.
[10] Sobhi
Mahmassani, Falsafah al-Tasyrî‘ al-Islâm,
(Mesir: Dâr al-Kasysyâf li
al-Nasyr, 1956), h. 160.
[11] Ibn Rusyd, Fashl
al-Maqâl fî mâ bayna al-Syarî‘ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, (Beirut: Markaz
Dirâsah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1997), h. 96-97.
[13] Lihat Muhammad
Ma’ruf al-Dawalibi, Al-Madkhal ilâ ‘Ilm
Ushûl al-Fiqh, h. 419; Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam,
(Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 8;
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
(Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1986), h. 417.
[14] Syamsul
Anwar, “Teori Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode
Penemuan Hukum Islam” dalam M. Amin Abdullah (ed.), Tafsir Baru Studi
Islam dalam Era Multi Kultural, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,
2002), h. 198.
[15] Lihat Abdul Hamid A. Abu
Sulayman, Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction
for Methodology and Thought, 2nd ed. Herndon, Virginia: IIIT,
1994), h. 87-92; dan Akh. Minhaji, “A Problem of Methodological Approach to
Islamic Law Studies”, dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No.
63/VI (1999), h. iv-v.
[17] M. Hasyim Kamali, “Fiqh and Adaptation to
Sosial Reality”, dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari
(1996), h. 78-79.
[18] Khaled Abou El-Fadl, Speaking
in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, (Oxford: Oneworld,
2001), h. 171.
[19] Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Nashsh wa
al-Shulthah wa al-Haqîqah: Irâdah al-Ma‘rifah wa al-Irâdah al-Haymanah,
(Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2000), h. 92.
[20] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung:
Penerbit Pustaka, 2003), h. 386.
[21] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur’an,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), h. 70.
[22] Nasr Hamid Abu Zaid, Dekonstruksi Gender:
Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: SAMHA, 2003), h. 180-181.
[23] Nasr Hamid Abu Zaid, Dekonstruksi Gender:
Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, h. 182-183.
[24] Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s
Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 90.
[25] Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s
Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 145-146.
[26] Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s
Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 5.
--pic source:
republika.co.id
Terima kasih infonya, sangat lengkap dan bermanfaat!
BalasHapusAsuransi Kesehatan Online
Best Casino Games in Harrah's Philadelphia - Mapyro
BalasHapusFind all Casino Games in Harrah's 울산광역 출장마사지 Philadelphia in 2021. 광명 출장마사지 Harrah's Philadelphia 삼척 출장안마 is located at 경주 출장샵 777 Casino Dr, Chester, PA 진주 출장샵 18702.