Jumat, 07 Desember 2012

MENGURAI PROBLEMATIKA TEKS DAN KONTEKS DALAM DISKURSUS HUKUM ISLAM



Abstrak 
Hukum Islam (fiqh) merupakan hasil penalaran para ulama terhadap teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan Sunah) dalam konteks ruang dan waktu yang bersifat partikular. Proses penalaran tersebut melibatkan sejumlah metode dan pendekatan dalam upaya memahami dan menafsirkan teks-teks keagamaan. Kendati demikian, dari perspektif metodologi kontemporer, model-model pembacaan yang diintrodusir oleh ulama klasik cenderung bersifat normatif dan tekstual. Oleh karena itu, para pemikir Islam kontemporer berupaya mereformulasikan kembali metodologi pembacaan teks-teks keagamaan dengan mengadaptasi pelbagai pendekatan mutakhir untuk memperkaya pendekatan tradisional. Pendekatan-pendekatan mutakhir ini mencoba memberikan ruang yang lebih luas terhadap aspek-aspek kontekstual dalam proses pembacaan teks-teks keagamaan dengan cara merumuskan matriks yang proporsional antara elemen-elemen pengarang, teks dan pembaca untuk menghindari literalisme dan otoritarianisme dalam proses penafsiran.
Kata kunci: teks, konteks, pengarang, pembaca, otoritarianisme.

Pendahuluan
Interpretasi terhadap teks-teks keagamaan merupakan langkah yang sangat penting untuk menyingkap makna dan signifikansi pesan-pesan Tuhan sebagai acuan dan pedoman kehidupan umat Islam. Namun demikian, upaya menafsirkan teks-teks keagamaan sebagai suatu ikhtiar untuk menangkap “kebenaran” yang diwahyukan oleh Tuhan melibatkan sejumlah prosedur dan mekanisme yang kompleks. Dalam konteks ini, para ulama telah memformulasikan ilmu ushûl al-fiqh sebagai perangkat metodologi baku untuk menggali dan memahami pesan-pesan Tuhan dalam bidang hukum Islam (fiqh).
Namun demikian, saat ini produk-produk hukum Islam klasik dianggap mandul karena peranan kerangka teoretik ushul fiqh dirasakan kurang relevan untuk merespons dan memecahkan problem-problem masyarakat Muslim kontemporer. Banyak pemikir Islam yang menyatakan bahwa produk hukum Islam yang tersedia saat ini mengidap dilema-dilema yang mesti dikritisi secara lebih mendalam, sehingga fiqh sebagai proses ijtihâdî dapat bergaung kembali di zaman yang secara sosial-kultural sangat berbeda dengan zaman di mana fiqh dikonstruksi dan dikodifikasi. Kondisi inilah yang memicu munculnya tawaran-tawaran metodologis baru dari para pemikir Islam kontemporer untuk menggali hukum Islam dari sumber-sumber aslinya agar lebih sesuai dengan dinamika perubahan zaman.
Banyak pemikir Islam kontemporer menyatakan bahwa salah satu faktor utama yang menimbulkan wajah kemandulan hukum Islam adalah kecenderungan kuat umat Islam dalam menafsirkan teks-teks keagamaan secara literal-tekstual dan mengabaikan konteks pembentukan hukum Islam yang bersifat historis dan partikular. Faktor lain adalah maraknya kecenderungan glorifikasi “masa lalu” di tubuh umat Islam, yakni suatu trend yang menempatkan masa tertentu yang diidentifikasi sebagai “al-salaf al-shâlih” sebagai masa keemasan Islam sehingga diposisikan sebagai standar kebenaran bagi setiap pemikiran dan perilaku umat Islam generasi berikutnya. Alhasil, rumusan hukum dan metode istinbâth (penemuan atau penyimpulan hukum) yang diintrodusir para ulama terdahulu dianggap final sehingga tidak membuka ruang untuk pengembangan lebih lanjut.[1]
Pendekatan terhadap hukum Islam yang didasarkan pada pemahaman tekstual ini pada muaranya tidak hanya menyebabkan kurang tersentuhnya problem-problem umat secara riil, tetapi juga kerap bertentangan dengan makna, substansi dan karakteristik hukum Islam yang dinamis. Doktrin dan ajaran Islam memang bersifat universal, tetapi respon historis manusia ditandai oleh perbedaan dan keragaman sesuai dengan konteks ruang dan waktu yang melingkupi keberadaan mereka.[2] Oleh karena itu, penafsiran terhadap teks-teks keagamaan harus senantiasa memperhatikan realitas sosial-kultural agar memperoleh pemahaman yang lebih aplikatif dan realistis sehingga tercipta hukum yang kompatibel dengan kebutuhan masyarakat modern.

Tujuan Pembentukan Hukum Islam
Islam adalah agama samawi yang bersumber kepada al-Qur’an, yakni wahyu Allah yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad saw. Al-Qur’an merupakan kumpulan nilai-nilai dasar untuk menata kehidupan umat manusia. Nabi Muhammad saw. diutus Allah untuk mempromosikan dan mempraktikkan nilai-nilai dasar itu ke dalam kehidupan masyarakat. Beliau mempraktikkan nilai-nilai ajaran al-Qur’an menurut budaya masyarakat Arab, karena beliau adalah orang Arab dan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah beliau adalah bangsa Arab. Keseluruhan tradisi yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw. di bawah naungan dan pedoman al-Qur’an ini disebut Sunah. Sepeninggal Rasulullah saw., para sahabat melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh beliau itu selama ratusan tahun, sehingga mereka berhasil mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang paling tinggi peradabannya saat itu. Prestasi itu dapat direalisasikan karena mereka menggali nilai-nilai luhur kandungan al-Qur’an dan Sunah serta menerapkannya dalam kehidupan masyarakat.
Ketika kehidupan masyarakat Muslim sudah semakin maju, kebutuhan kepada aturan-aturan hukum yang jelas semakin dirasakan. Namun demikian, ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan Sunah masih belum terperinci dan belum tersistematisasi. Para ulama kemudian berusaha memahami kedua sumber tersebut dan menyusun hasil pemahamannya menjadi sebuah korpus hukum Islam, yakni fiqh. Tujuan pembentukan hukum Islam tersebut adalah agar masyarakat Muslim dapat dengan mudah menata kehidupan mereka dalam bidang ibadah, muamalah, jinayah, akhlak dan lain-lain menurut petunjuk al-Qur’an dan Sunah yang telah disistematisasi tersebut. Meskipun masyarakat Muslim waktu itu berbahasa Arab, namun untuk memahami maksud kedua sumber ajaran Islam bukan perkara mudah. Dengan demikian, fiqh yang sekarang kita pelajari—seperti fiqh Hanafi, fiqh Maliki, fiqh Syafi’i dan fiqh Hambali—sesungguhnya merupakan hasil pemikiran–pemikiran mereka dalam memahami sumber-sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan Sunah.[3] Karena merupakan hasil pemikiran ulama, maka fiqh bersifat relatif. Kedudukannya sama dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Kalam dan sebagainya.[4] Maka, jika suatu produk fiqh tidak cocok untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan suatu masyarakat karena berbeda konteks ruang dan waktunya, bisa saja produk fiqh itu diabaikan dan dicari format baru dengan mengacu kepada nilai-nilai dasar yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunah.
Dengan demikian, fiqh pada dasarnya berbeda dengan syariah. Syariah adalah al-nushûsh al-muqaddasah dan al-sunnah al-mutawâtirah yang murni, tetap dan tidak mengalami perubahan sepanjang masa. Syariah merupakan totalitas petunjuk yang diwahyukan Allah kepada Nabi berkaitan dengan agama, nilai moral dan peraturan hukum praktis yang bersifat doktriner, pasti, dan tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, fiqh merupakan hasil pemahaman dan interpretasi manusia terhadap al-nushûsh al-muqaddasah dan al-sunnah al-mutawâtirah tersebut. Fiqh adalah hasil proses penalaran (ijtihâd) manusia terhadap al-Qur’an dan Sunah. Oleh karena itu, fiqh bersifat relatif, variatif, dan dinamis sesuai dengan konteks ruang dan waktu serta tingkat kemampuan daya nalar manusia. Kendati demikian, relativitas dan pluralitas fiqh itu tetap berkisar dalam ruang lingkup probabilitas makna dari teks al-Qur’an dan Sunah atau dalam ruang lingkup substansi makna dari sumber utama tersebut.[5]
Suatu hal yang patut kita cermati dalam pemikiran fiqh pelbagai mazhab adalah bahwa biasanya pemikiran fiqh dimulai dari adanya kasus lantas dicarikan status hukumnya melalui pelbagai penalaran hukum. Jika tidak diperoleh dalil dalam al-Qur’an maupun Hadis yang berkenaan dengan masalah tersebut, para imam mazhab kemudian menggunakan metode yang berbeda dalam menggali hukum Islam. Imam Abu Hanifah lebih banyak menggunakan metode istihsân, Imam Malik lebih cenderung mendahulukan urf penduduk Madinah dan istishlâh, Imam Syafi’i lebih mengutamakan qiyâs, sedangkan Imam Ahmad lebih suka menggunakan hadis dha‘îf ketimbang ra’y.[6] Karena pergumulan fiqh berangkat dari upaya menyelesaikan kasus, maka fiqh menjadi kurang terfokus kepada masalah-masalah yang strategis yang justru sangat membutuhkan pemikiran sistematis. Pemikiran terhadap masalah-masalah mikro/partikular (juz’iyyah) memang tidak salah sama sekali, tetapi kalau kemudian melupakan masalah-masalah yang bersifat makro/universal (kulliyyah), maka hal itu suatu kekeliruan besar.
Di samping itu, fiqh banyak berkonsentrasi kepada upaya mendeduksikan ayat. Artinya, produk fiqh yang kita miliki berupa deskripsi hasil analisis terhadap makna teks. Akibatnya, fiqh hanya bersifat formal dan banyak ditemui dalam pemikiran fiqh bahwa yang penting hukum dapat dikembalikan secara formal kepada bunyi teks al-Qur’an atau Hadis. Tak jelas untuk kepentingan apa produk hukum itu diperuntukkan, tak menjadi soal apakah hukum itu dalam kenyataan historisnya telah menyentuh kemaslahatan orang banyak atau hanya menyantuni kepentingan sekelompok tertentu. Oleh karena itu, tak mengherankan apabila wajah fiqh kita tampak dingin, kurang menunjukkan pemihakan (engagement) terhadap kepentingan kemaslahatan masyarakat.[7] Padahal, tujuan yang hendak direalisasikan oleh hukum Islam adalah kemaslahatan umat manusia. Tujuan ini dicanangkan oleh Islam agar manusia memperoleh kebahagiaan sejati, lahir-batin, duniawi-ukhrawi. Akan tetapi, kadang kala karena keterbatasan kemampuan manusia mengungkap makna yang terkandung di dalam teks al-Qur’an dan Hadis, karena terlalu terikat kepada bunyi teks (nashsh) seperti yang dipromosikan oleh paham tekstualis atau ortodoksi, maka kemudian kemaslahatan yang dicanangkan itu tidak bisa direalisasikan.
Kecenderungan kepada pemahaman yang tekstualis dan formalistik ini pada dasarnya sudah mencuat sejak zaman awal Islam. Salah satu eksemplar yang cukup populer adalah kasus harta rampasan perang pada masa khalifah Umar ibn Khattab. Ketika Sawad (Iraq) ditaklukkan oleh tentara Islam, banyak harta rampasan perang yang dapat dikuasai umat Islam. Di antara harta rampasan perang itu adalah beberapa bidang lahan pertanian yang subur. Umar ibn Khattab selaku khalifah waktu itu bermusyawarah dengan para sahabatnya untuk menetapkan pemanfaatan tanah tersebut. Mayoritas sahabat yang diwakili oleh Bilal ibn Rabah dan Abdurrahman ibn Auf berpendapat bahwa tanah pertanian itu hendaknya dibagikan kepada prajurit yang ikut perang sebagaimana petunjuk Q.S. al-Hasyr/59 : 7 dan praktik yang dilakukan oleh Nabi saw. Umar tidak sependapat dengan mereka jika tanah tersebut harus dibagikan kepada tentara yang ikut perang. Ia bermaksud hendak membiarkan tanah itu tetap dikuasai oleh penduduk setempat dengan ketentuan mereka harus membayar retribusi (kharâj) tertentu kepada pemerintah. Alasan Umar, jika tanah itu dibagikan kepada tentara, belum tentu mereka bisa mengolah tanah tersebut dengan baik, karena mereka tidak terbiasa dengan usaha pertanian, yang pada gilirannya dapat menimbulkan konsekuensi menurunnya hasil pertanian. Tetapi dengan membiarkan tanah tersebut tetap dikuasai oleh penduduk setempat, maka ada beberapa maslahat atau manfaat yang bisa diambil, yaitu: (1) penduduk tidak kehilangan mata pencaharian karena tanahnya tetap dalam penguasaan mereka; (2) hasil pertanian masih dapat dipertahankan sebagaimaana biasa karena mereka telah berpengalaman mengolah tanah tersebut; dan (3) negara memperoleh income dari penarikan retribusi penggarapan tanah itu yang dapat digunakan membiayai/menggaji tentara dan keperluan lainnya.[8]
Apa yang dilakukan Umar itu secara tekstual terkesan mengabaikan ketentuan Q.S. al-Hasyr/59 : 7 dan Sunah Rasulullah. Dengan kata lain, Umar mengesampingkan alasan lafzhiyyah (literal) dan lebih mendahulukan alasan ma‘nawiyyah (substansial), yakni maslahat yang terasa lebih kuat. Itu artinya bahwa Umar lebih mengutamakan pertimbangan maslahat ketimbang unsur legal formal. Tindakan Umar tersebut sangat relevan dengan jiwa hukum Islam karena tumpuan akhir (ghâyah) syariah adalah terwujudnya kemaslahatan. Artinya, di mana saja ada kemaslahatan di situ hukum Allah tegak berdiri.[9] Karena kemaslahatan manusia menjadi dasar bagi setiap macam hukum Islam, maka sudah menjadi kelaziman yang masuk akal apabila hukum itu mengalami perubahan disebabkan oleh berubahnya zaman dan situasi serta pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan.[10]
Narasi di atas paling tidak menunjukkan kepada kita bahwa sejarah kaum muslimin sejak semula sudah ditandai oleh diskusi dan perdebatan intelektual yang dinamis, bahkan kerap menimbulkan friksi yang cukup tajam antara para penganut paham tekstual-tradisional versus pengikut paham kontekstual-rasional. Meskipun tidak selalu atau sepenuhnya, para pengikut aliran pertama seringkali lebih menekankan argumen teks berdasarkan apa yang tersurat (literal). Sementara para penganut aliran kedua lebih memfokuskan pada makna batin suatu teks. Seorang tekstualis lebih mengutamakan tafsîr dan menghindari ta’wîl sejauh hal itu dapat dilakukan. Sedangkan seorang rasionalis sering menggunakan ta’wîl dan bahasa majâz (metafora). Mereka mengambil sumber tekstual sepanjang masuk akal.
Perdebatan antara kedua aliran tersebut juga terjadi dalam tradisi hukum Islam. Dalam konteks ini, perdebatan terjadi hampir dalam seluruh isu-isu hukum Islam. Istilah yang populer untuk kedua kelompok ini adalah “ahl al-hadîts” dan “ahl al-ra’y”, atau ahli hadis dan ahli fiqh. Dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer, dua istilah itu biasa diterjemahkan kaum tradisionalis dan kaum rasionalis atau kaum literalis dan kaum substansialis. Meskipun demikian, kedua sudut pandang atau cara pemahaman atas teks tersebut pada dasarnya bisa digunakan sejauh tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syari‘ah (maqâshid al-syarî‘ah) dan kemaslahatan umum (al-mashlahah al-‘âmmah). Dalam konteks ini, kiranya menarik apa yang dikatakan Ibn Rusyd, filosof, ahli fiqh besar mazhab Maliki:

وان كانت الشريعة نطقت به فلا يخلو ظاهر النطق ان يكون موافقا لما ادى اليه البرهان فيه او مخالفا، فإن كان موافقا فلا قول هنالك، وان كان مخالفا طلب تأويله

“Teks-teks agama ada yang sejalan dengan akal pikiran ada yang (tampaknya) tidak. Jika sejalan, maka tidak ada masalah, tetapi jika (tampaknya) bertentangan dengan nalar, maka perlu diinterpretasi.”[11]
Dengan demikian, jelaslah bahwa hal fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam adalah kemaslahatan umat manusia, yang dalam bahasa operasionalnya dikatakan bahwa tujuan hukum Islam adalah merealisasikan keadilan sosial. Tawaran teoretis dan metodologis apa pun dan bagaimana pun, asal bisa menjamin terwujudnya kemaslahatan kemanusiaan, dalam kacamata Islam, adalah absah dan umat Islam terikat untuk mengambil dan merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoretis dan metodologis apa pun dan bagaimana pun yang secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya kemaslahatan, lebih-lebih dapat membuka kemungkinan terjadinya kemudharatan, dalam kacamata Islam, adalah fâsid dan umat Islam baik secara personal maupun kolektif terikat untuk mencegahnya.[12]

Teks dan Konteks dalam Diskursus Hukum Islam
Penalaran terhadap teks (nashsh) dalam tradisi hukum Islam pada mulanya bertujuan untuk memformulasikan atau menemukan hukum (istinbâth al-hukm) dalam rangka merealisasikan kemaslahatan umat manusia. Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dikenal tiga metode penalaran hukum (ijtihâd), yaitu: (1) metode bayânî; (2) metode ta‘lîlî (qiyâsî); dan (3) metode istishlâhî.[13] Metode bayânî adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada ikhtiar penggalian makna teks berdasarkan gejala-gejala dan indikator-indikator lingusitik. Metode ini memiliki kelemahan mendasar jika dihadapkan oleh permasalahan-permasalahan baru yang hanya bisa diderivasikan dengan makna yang terkesan jauh dari teks. Metode ini lebih banyak melakukan reproduksi makna ketimbang memproduksi makna baru. Meskipun demikian, metode inilah yang berkembang dan diaplikasikan oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan pelbagai ketetapan hukum.
Metode talîlî berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus pokok ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam, pola ini diaplikasikan melalui metode qiyâs. Dasar rasional aplikasi metode ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf) pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang. Jika mencermati mekanisme operasionalnya, metode ini terlalu memberi penekanan pada model penalaran deduktif sehingga tidak cukup memadai ketika berhadapan dengan pelbagai kasus-kasus empirik yang dialami oleh masyarakat Muslim kontemporer.
Metode istishlâhî didasarkan pada prinsip tujuan-tujuan syariah (maqâshid al-syarî‘ah), yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Secara historis, metode ini dirintis oleh al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya dan kemudian dielaborasi kembali oleh al-Syatibi dengan metode induksi tematisnya. Metode ini pada dasarnya lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial-empirik. Namun demikian, metode ini tidak begitu berkembang dan jarang dipakai sebagai perangkat ijtihad. Di samping itu, menurut sebagian pengamat, meskipun al-Ghazali dan al-Syatibi telah merintis jalan pengembangan analisis sosial-empiris, tetapi dalam praktiknya, karya-karya mereka masih terpusat pada analisis normatif-tekstual.[14] Lemahnya analisis sosial-empiris inilah yang disinyalir oleh banyak pihak sebagai satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.[15]
Kritik terhadap kecenderungan normatif-tekstual dan lemahnya analisis sosial-empiris dalam tradisi Islam ini sebenarnya pernah dilontarkan oleh Ibn Khaldun pada masa pra-modern. Ibn Khaldun melontarkan kritik terhadap kecenderungan para ulama Islam—sebagian besar dari mereka adalah para ulama ahli hadis—yang mengabaikan konteks historis dalam proses mengindentifikasi Sunah Nabi. Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menyatakan:
Dalam hal riwayat, jika seseorang hanya bersandar pada [metode] periwayatan tanpa menilai [riwayat-riwayat itu] berdasarkan prinsip-prinsip tindakan manusia, asas-asas politik, sifat dasar peradaban, dan kondisi-kondisi pergaulan sosial, serta tanpa membandingkan sumber-sumber klasik dengan sumber-sumber kontemporer, masa kini dengan masa lalu, niscaya orang tersebut akan terjerumus ke dalam kekeliruan dan bisa melenceng dari kebenaran. Para sejarawan, penafsir [al-Qur’an] dan perawi-perawi terkenal seringkali melakukan kesalahan karena menerima begitu saja [otentisitas] riwayat dan peristiwa-peristiwa [tertentu]. Ini karena mereka hanya bersandar pada periwayatan, tanpa memperhatikan apakah itu bernilai atau tidak. Mereka tidak memeriksa [riwayat-riwayat itu dengan teliti] dari sudut prinsip-prinsip [analisis historis yang bersifat mendasar] atau membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain, atau mengujinya menurut standar-standar kearifan, atau menyelidiki sifat dasar manusia. Di samping itu, mereka tidak menetapkan otentisitas riwayat-riwayat itu berdasarkan standar-standar penalaran dan pemahaman. Akibatnya, mereka melenceng dari kebenaran dan tersesat di belantara kekeliruan dan khayalan.[16]

Pada hari ini, beberapa pemikir Islam kontemporer berpendapat bahwa kecenderungan tekstualis yang berlebihan dalam metode penemuan hukum telah menyebabkan hukum Islam cenderung gagap dalam merespon dinamika perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action—sebagai akibat dari kecenderungan tekstualis dalam metodologinya—pada gilirannya telah mengakibatkan hukum Islam terpelanting ke dalam tepian sejarah, bahkan sampai batas tertentu mungkin mulai ditinggalkan karena tidak begitu releven dengan situasi aktual umatnya. Dalam konteks ini, Hasyim Kamali mencatat 3 (tiga) karakteristik ushul fiqh yang dominan, yaitu: (1) tidak mendukung efektifitas dan efisiensi administratif, karena ditulis mengikuti style abad pertengahan serta tidak mempunyai klasifikasi yang rapi; (2) fokus kajiannya tidak lagi relevan dengan isu dan kondisi aktual umat Islam; dan (3) adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme madzhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran lain.[17]
Lebih dari itu, sebagaimana dikemukakan Khaled Abou El Fadl, praktik hukum Islam dewasa ini cenderung memperlakukan hukum Islam sebagai perangkat aturan (ahkâm) yang mapan, statis dan tertutup, yang harus ditetapkan tanpa menyisakan ruang untuk pengembangan dan keragaman. Dengan kata lain, Islam pada masa modern ini dipandang sebagai seperangkat aturan (ahkâm), bukan sebagai sebuah proses pemahaman (fiqh), sehingga seruan untuk membuka pintu ijtihad kontemporer terjebak dalam sebuah proses otoriter yang melahirkan kodifikasi hukum yang tertutup.[18] Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, realitas tersebut terjadi akibat menguatnya kecenderungan penafsiran saintifik (al-tafsîr al-‘ilmî) terhadap teks-teks keagamaan dan maraknya praktik-praktik otoritarianisme (al-hâkimiyyah) di kalangan umat Islam.[19]
Melihat kenyataan tersebut, para pemikir Islam kontemporer berpendapat bahwa upaya untuk melakukan pembacaan ulang terhadap teks-teks keagamaan dan tradisi hukum Islam merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Mereka mengajak umat Islam untuk membangun suatu model pembacaan terhadap teks-teks keagamaan dan tradisi hukum Islam secara kritis, komprehensif, tidak parsial, serta memperhatikan konteks historis, sosial dan kultural untuk kemudian dilanjutkan dengan penggalian signifikansi yang relevan dengan kondisi saat ini. Pada umumnya, mereka sepakat bahwa konteks merupakan variabel penting untuk memahami dan menerapkan sebuah teks, karena teks tidak muncul dalam ruang hampa. Teks tidaklah berbicara sendiri, ia dipahami, ditafsirkan, dirumuskan dan disistematisasi oleh para ulama dari zaman ke zaman yang tidak lepas dari konteks ruang dan waktu.
Dalam konteks ini, Fazlur Rahman—pemikir Islam neo-modernis kelahiran Pakistan—menawarkan suatu model pembacaan dalam proses interpretasi teks-teks keagamaan. Model yang ditawarkan oleh Rahman ini disebut dengan istilah pendekatan gerakan ganda (double movement). Melalui pendekatan ini, seorang pembaca pertama-tama harus memahami al-Qur‘an dalam urutan historis agar bisa memahami perkembangan tema-tema dan ide-idenya. Selanjutnya, pembaca harus memahaminya dalam latar belakang sosio-historisnya, tidak hanya terhadap bagian-bagian partikular al-Qur’an saja—yang oleh para mufassir disebut dengan istilah sebab-sebab turunnya al-Qur’an (asbâb al-nuzûl)—tetapi juga terhadap al-Qur’an secara keseluruhan dengan latar paganisme Mekah. Tanpa memahami latar belakang makro dan mikro ini secukupnya, besar kemungkinan pembaca akan melakukan kesalahan besar dalam menilai secara tepat elan dasar dan tujuan al-Qur’an serta tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw.[20]
Menurut Rahman, dalam bidang hukum, setiap pernyataan yang legal atau quasi-legal senantiasa disertai oleh sebuah ratio legis yang menjelaskan mengapa sebuah hukum dinyatakan. Untuk dapat memahami sebuah ratio legis secara sempurna, pertama sekali pembaca harus mempelajari latar belakang sosio-historis. Ratio legis merupakan inti, sedang legislasi yang aktual merupakan perwujudannya asalkan tepat dan benar merealisasikan ratio legis tersebut; jika tidak demikian, maka hukum tersebut harus diubah. Jika situasi berubah sedemikan rupa sehingga hukum tidak lagi mencerminkan ratio legis tersebut, maka hukum tersebut pun harus diubah. Sayangnya, walaupun mengetahui ratio legis tersebut, ahli-ahli hukum tradisional Muslim pada umumnya mempertahankan hukum yang harfiah dan mereka menegaskan sebuah prinsip bahwa “walaupun sebuah hukum terjadi karena situasi yang spesifik tetapi aplikasinya adalah universal.”[21]
Di lain pihak, Nasr Hamid Abu Zayd—pemikir Islam kelahiran Mesir yang banyak mengambil inspirasi dari Muhammad Abduh—menawarkan suatu model pembacaan yang ia sebut “metode pembacaan kontekstual” (manhaj al-qirâ’ah al-siyâqiyyah). Metode ini pada dasarnya bukan temuan baru, melainkan hasil pengembangan dari metode-metode ushul fiqh tradisional, di satu sisi, dan kelanjutan kerja keras para pendukung kebangkitan Islam, khususnya Muhammad Abduh dan Amin al-Khully, di sisi lain. Metode ushul dan metode pembacaan kotekstual sama-sama menggunakan kaidah-kaidah ilmu-ilmu al-Qur’an, khususnya ilmu asbâb al-nuzûl dan nâsikh-mansûkh sampai aspek kaidah-kaidah ilmu kebahasaan, sebagai perangkat pokok untuk interpretasi dan melakukan pengambilan hukum dari teks. Bedanya, jika ushul fiqh menekankan pentingnya latar turunnya al-Qur’an (asbâb al-nuzûl) untuk memahami suatu makna, pembacaan kontekstual melihat permasalahan dari sudut pandang yang lebih luas, yakni keseluruhan konteks sosial-historis abad ke-7 saat turunnya wahyu. Melalui konteks itulah seorang penafsir dapat memilih antara otentisitas wahyu dengan adat istiadat keagamaan atau sosial pra-Islam.[22]
Di samping konteks sosial-historis dari masa sebelum turunnya wahyu, ada beberapa level konteks lain yang harus diperhatikan dalam metode pembacaan kotekstual.[23] Pertama, konteks keruntutan pewahyuan (siyâq tartîb al-nuzûl), yaitu konteks historis-kronologis pewahyuan, suatu konteks yang sama sekali berbeda dengan urutan bacaan (tartîb al-tilâwah) surat-surat dan ayat-ayat dalam al-Qur’an. Dalam kedua metode tersebut ada dimensi historis dan kronologis yang diupayakan pemaduannya oleh pembacaan kontekstual, karena masing-masing memilliki keistimewaan. Jika membaca teks al-Qur’an sesuai dengan urutan turun dapat menyingkap makna-makna dan indikasi-indikasinya, membaca teks sesuai dengan urutan bacaan dapat menyingkap signifikiansi dan efek. Pembacaan historis (siyâq tartîb al-nuzûl) mampu menyingkap perkembangan makna dalam struktur teks, misalnya makkî dan madanî, namun tidak mampu mengungkap efek maknawi menyeluruh dari struktur permanen al-Qur’an. Sebaliknya, pembacaan kronologis sesuai urutan bacaan berhasil mengungkap pengaruh makna keseluruhan, namun dalam banyak kesempatan ia mengabaikan masalah perkembangan makna.
Kedua, konteks naratif (siyâq al-sard), yaitu konteks yang lebih luas yang meliputi apa yang dianggap sebagai perintah atau larangan syara’ seperti yang disampaikan dalam bentuk kisah atau penggambaran kondisi umat terdahulu, atau konteks bantahan terhadap para penyerang atau orang-orang yang berusaha menghina al-Qur’an dan Muhammad. Dengan konteks itu, penafsir dapat membedakan antara apa yang muncul melalui tasyrî‘ secara dasariah dan yang muncul melalui gaya bahasa perdebatan (musâjalah), deskripsi (washf), ancaman dan janji (al-tahdîd al-wa‘îd) serta pelajaran dan peringatan (al-‘ibrah wa al-maw‘izhah)
Ketiga, konteks level struktur kebahasaan (mustawâ al-tartîb al-lughawî), yaitu level yang lebih kompleks dibandingkan susunan gramatikal (al-tartîb al-nah). Ia memerlukan analisis terhadap relasi-relasi, seperti fashl (pemisahan) dan washl (penyambungan) antara susunan-susunan gramatikal, relasi taqdîm dan ta’khîr, implisitas (idhmâr) dan ekplisitas(izhhâr), penyebutan dan pembuangan (al-dzikr wa al-hadzf) dan pengulangan (tikrâr). Semua itu merupakan unsur-unsur yang mendasar dalam menyingkap level-level makna.
Keempat, level analisis gramatikal dan retoris (mustawâ al-tahlîl al-nahwi al-balâgh) yang tidak hanya berhenti pada batas-batas ilmu balaghah tradisional, tetapi juga memanfaatkan perangkat “analisis wacana” (tahlîl al-khitâb) dan “analisis teks” (tahlîl al-nashsh).
Tawaran metodologis lain muncul dari Khaled Abou El Fadl—Guru Besar Hukum Islam di Universitas California Los Angeles (UCLA). Menurut Fadl, dalam rangka menjunjung tinggi otoritas teks dan sekaligus membendung otoritarianisme pembaca, maka diperlukan adanya interaksi yang proporsional antara pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader) dalam upaya melahirkan makna. Pada saat yang sama, harus ada sebuah proses negosiasi (negotiating process) antara ketiga elemen tersebut sehingga salah satu pihak tidak mendominasi dalam proses penetapan makna.[24]
Elemen pertama adalah teks. Menurut Fadl, sebagai sebuah teks, al-Qur’an dan Sunah merupakan “karya yang terus berubah” (works in movement)—keduanya adalah karya yang membiarkan dirinya terbuka terhadap pelbagai strategi interpretasi. Meskipun demikian, Fadl menegaskan bahwa kedua teks tersebut bukan berarti terbuka bagi segala jenis interpretasi. Dengan pandangan demikian, Fadl hanya hendak menegaskan bahwa al-Qur’an dan Sunah pada dasarnya mampu menampung gerak interpretasi yang dinamis. Teks yang terbuka tidak hanya mendukung interpretasi yang majemuk, tetapi juga mendorong sebuah proses penelitian yang mendudukkan teks dalam posisi sentral. Pada akhirnya teks berbicara dengan suara yang diperbaharui kepada masing-masing generasi pembaca, karena maknanya tidak permanen dan berkembang secara aktif. Teks tetap relevan dan menduduki posisi sentral karena keterbukaannya memungkinkan dirinya untuk terus menggemakan suaranya. Selama teks bersifat terbuka, ia akan terus berbicara, dan selama ia berbicara, ia akan terus relevan dan bermakna. Para pembaca akan senantiasa kembali merujuk kepada teks karena teks dapat menghasilkan penafsiran dan pemahaman baru. Sebaliknya, jika teks dibungkam suaranya, maka teks akan membeku dan mati pada kali terakhir ia ditafsirkan. Pembunuhan teks ini terjadi ketika pembaca bersikukuh bahwa teks mengandung makna yang telah ditentukan, stabil, tetap, dan tidak berubah. Akibatnya, teks akan mati dan menjadi tidak relevan dengan dimensi-dimensi ruang dan waktu yang berbeda.[25]
Dengan demikian, dalam proses interpretasi, kita harus memahami kaidah bahasa sebuah teks dalam konteks masa lalunya bukan untuk memahami makna sebenarnya dari sebuah teks, tetapi untuk memahami dinamika antara teks dan penerima awalnya. Secara khusus, jika kita sedang membicarakan sebuah teks yang memiliki dimensi ketuhanan, mengkaji teks tersebut berdasarkan peristiwa historisnya merupakan bagian dari pengakuan atas integritas teks. Namun, di antara bentuk pengakuan atas integritas teks adalah mengakui bahwa teks memiliki daya hidup yang konsisten dan berkelanjutan. Jika Tuhan benar-benar berbicara untuk semua masa dan generasi, teks al-Qur’an tidak dapat dipahami sebatas konteks historisnya saja. Oleh karena itu, setelah menganalisis relasi antara teks dan maknanya pada masa lalu, seorang pembaca juga harus berupaya menghubungkan teks tersebut dengan realitas masa kini.
Elemen kedua adalah pengarang. Menurut Fadl, secara historis kehadiran sebuah teks tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya. Ketika seorang pengarang menuliskan sebuah teks, maka ia akan senantiasa bergelut dengan “simbol-simbol bahasa” yang digunakan. Artinya, pengarang telah mewadahi dan mempercayakan makna yang dikehendakinya ke dalam “simbol-simbol” linguistik yang digunakan sebagai sebuah media yang dapat dipahami pembaca. Ketika teks telah ditulis pengarang dan pengarang telah memisahkan dirinya dari apa yang dituliskannya, maka otoritas pengarang tidak lagi berpengaruh terhadap teks. Jika teks telah menjadi milik publik, maka pengarang tidak berhak melakukan intervensi kepada pembaca atau publik dalam kebebasannya melakukan pencarian makna atas teks tersebut. Persoalannya, bagaimana kita memosisikan elemen kepengarangan ini dalam kaitannya dengan al-Qur’an? Apakah pembaca harus tetap memfokuskan diri pada makna yang dikehendaki pengarang dan mempertimbangkannya sebagai faktor yang menentukan makna teks tersebut?
Dalam rangka menjawab pertanyaan ini, Fadl memberikan gambaran yang cukup memadai tentang kisah Ali ibn Abi Thalib yang berseteru dengan kelompok Khawarij yang mengklaim bahwa “semua hukum hanyalah milik Allah” (inna al-hukma li al-Lâh). Dalam menangkis tuduhan tersebut, Ali mengumpulkan kaum Khawarij dan membawa salinan al-Qur’an. Ali menyentuh al-Qur’an dan berkata: “Wahai al-Qur’an, berbicaralah pada manusia!” Orang-orang di sekeliling Ali berkata gusar; “Apa maksud kamu wahai Ali, apakah kau mengejek kami?” Kemudian Ali mengatakan bahwa al-Qur’an hanyalah lembaran-lembaran kertas dan tinta yang tidak dapat berbicara, manusialah yang berbicara atas nama al-Qur’an. Al-Qur’an hanya ditulis dengan goresan di antara dua sampul yang tentu tidak dapat berbicara, maka al-Qur’an perlu penafsir dan penafsirnya adalah manusia.
Berdasarkan kisah Ali di atas, Fadl menandaskan bahwa sepeninggal Nabi Muhammad saw., otoritas pengarang (Tuhan) dalam konstruksi teks telah selesai. Persoalan yang muncul adalah terkait dengan pembuktian sejarah dan pengujian otentisitasnya. Artinya, bagaimana kita mengetahui bahwa perintah tersebut benar-benar datang dari Tuhan atau Nabi Muhammad saw.—Fadl menyebutnya dengan istilah “kompetensi” otentisitas teks. Kemudian persoalan yang muncul lagi adalah bagaimana menentukan otentisitas, makna dan pelaksanaanya. Apakah pemaknan atas teks diserahkan kepada kreatifitas pembaca atau harus membentuk sebuah lembaga khusus yang disebutnya sebagai “perwakilan”. Melalui wakil-wakil inilah diharapkan dapat melahirkan makna yang sesungguhnya terhadap makna yang dimaksud pengarang, teks maupun pembaca. Menurut Fadl, problem kompetensi dan penetapan perwakilan memainkan peranan penting dalam membentuk “pemegang otoritas” dalam diskursus keislaman. Fadl kemudian menegaskan bahwa pengarang al-Qur’an adalah abadi, hidup mengurus makhluk terus menerus, tidak pernah tidur dan menguasai seluruh langit dan bumi. Karenanya, Tuhan sudah barang tentu tidak akan merelakan wahyu-Nya diselewengkan dan dicatut oleh pembaca “atas nama Tuhan”.
Elemena Ketiga adalah pembaca. Kehadiran pembaca di hadapan teks yang bisu menjadikan teks mempunyai makna. Teks kini telah tersaji di hadapan pembaca dan sang pengarang tidak lagi hadir mengawal teksnya di tengah kerumunan para pembaca. Teks bergulir dengan sendirinya dan maknanya sangat bergantung pada siapa yang membacanya. Oleh karena itu, Fadl tidak berupaya untuk menjadikan teks sebagai sesuatu yang bergulir tanpa pengawalan. Kendati demikian, Fadl tidak sepakat dengan sikap para pembaca yang sewenang-wenang menafsirkan teks, apalagi para pembaca mencatut nama Tuhan atau menjadikan diri mereka sebagai Tuhan. Jika ini yang terjadi, maka muncullah apa yang sebut oleh Fadl sebagai praktik otoritarianisme pembaca. Otoritarianisme dimaksud merujuk pada sebuah metodologi hermeneutika (hermeneutic methodology) yang merampas dan menundukkan mekanisme pencarian makna dari sebuah teks ke dalam pembacaan yang sangat subyektif (a highly subjective) dan selektif (selective reading). Subyektivitas yang selektif (selective subjectivity) dari hermeneutika otoriter (authoritarian hermeneutics) ini melibatkan penyamaan antara maksud pengarang (the authorial intent) dan maksud pembaca (the reader’s intent), dengan memandang maksud tekstual (the textual intent) dan otonomi teks (autonomy of the text) sebagai hal yang bersifat sekunder. Dalam hal ini, kelaliman penafsiran terjadi ketika seorang pembaca (reader) berusaha menyegel atau “mengunci” (lock) teks dalam sebuah makna tertentu, sehingga merusak integritas pengarang (author) dan teks (text) secara bersamaan.[26] Oleh karena itu, Fadl merasa perlu membatasi otoritarianisme pembaca dengan menyodorkan lima kriteria, yaitu: kejujuran, kesungguhan, pengendalian, kemenyeluruhan dan rasional.
Pelbagai tawaran metodologis yang telah dipaparkan di atas bagaimanapun merupakan hasil ijtihad intelektual yang patut diapresiasi. Kendati demikian, karakteristik normatif dan sifat sui-generis metode penafsiran dan penemuan hukum Islam nampaknya merupakan trade mark yang tidak mungkin dirubah, sehingga model-model pembacaan kontekstual yang ditawarkan oleh para pemikir Islam kontemporer sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk menggantikan pendekatan normatif hukum Islam, melainkan memperkaya pendekatan tradisional tersebut. Pendekatan-pendekatan kontemporer pada dasarnya hendak mengingatkan bahwa realitas sosial-kultural merupakan variabel penting dalam proses penafsiran dan penemuan hukum Islam. Dengan demikian, normativitas hukum Islam perlu diimbangi dengan apresiasi proporsional terhadap realitas sosial-kultural dalam setiap analisis penyimpulan hukum. Dengan melibatkan realitas empirik ke dalam analisis penemuan hukum, maka diharapkan hukum Islam dapat tampil secara lebih kreatif dan produktif sehingga dapat menjembatani kebutuhan-kebutuhan masyarakat Islam kontemporer. Pendekatan yang holistik dalam bidang hukum Islam merupakan suatu keniscayaan yang perlu diformulasikan secara berkesinambungan agar hukum Islam dapat terus menerus memainkan peranannya dalam pelbagai proses regulasi masyarakat modern.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A., Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd edition, Herndon, Virginia: IIIT, 1994.
Abu Zayd, Nasr Hamid, Al-Nashsh wa al-Shulthah wa al-Haqîqah: Irâdah al-Ma‘rifah wa al-Irâdah al-Haymanah, Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2000.
________, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: SAMHA, 2003.
al-Dawalibi, Muhammad Ma’ruf, Al-Madkhal ilâ ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Damaskus: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1965.
Anwar, Syamsul, Teori Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, dalam M. Amin Abdullah (ed.), Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002.
Efendi, Satria, Mazhab-mazhab Fikih sebagai Alternatif”, dalam Ibrahim Husen (ed.), Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Putra Harapan, 1990.
El-Fadl, Khaled Abou, Speking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, Oxford: Oneworld, 2001.
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, t.th.
Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl fî Mâ Bayna al-Syarî‘ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, Beirut: Markaz Dirâsah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1997.
Kamali, M. Hasyim, “Fiqh and Adaptation to Sosial Reality”, dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari (1996).
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002.
Madjid, Nurcholish, dkk. Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2005.
Mahmassani, Sobhi, Falsafah al-Tasyrî‘ al-Islâm, Mesir: Dâr al-Kasysyâf li al-Nasyr, 1956.
Mas’udi, Masdar F., Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari’at, dalam Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI (1995).
Minhaji, Akh., “A Problem of Methodological Approach to Islamic Law Studies”, dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI (1999).
Mubarok, Jaih, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2002.
Mudzhar, M. Atho, Fikih dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Nuruddin, Amir, Ijtihad Umar ibn Khattab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 2003.
_______, Tema-tema Pokok al-Qur’an, Bandung: Penerbit Pustaka, 1996.
Rahmat, Jalaluddin, Tinjauan Kritis atas Sejarah Fikih: Dari Fikih Khulafaur Rasyidin hingga Mazhab Liberalisme”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.
Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1986.



[1] Nurcholish Madjid dkk., Fiqh Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2005), h. 4-5.
[2] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 227.
[3] M. Atho Mudzhar, Fikih dan Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 369.
[4] Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 208; dan Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002), h. vii.
[5] Satria Efendi, Mazhab-mazhab Fikih sebagai Alternatif”, dalam Ibrahim Husen (ed.), Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Putra Harapan, 1990), h. 312.
[6] Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis atas Sejarah Fikih: Dari Fikih Khulafaur Rasyidin hingga Mazhab Liberalisme”, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, h. 251-305.
[7] Masdar F. Mas’udi, Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari’at, dalam Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI (1995), h. 96.
[8] Amir Nuruddin, Ijtihad Umar ibn Khattab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), h. 158.
[9] Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, Al-Madkhal ilâ ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (Damaskus: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1965), h. 16.
[10] Sobhi Mahmassani, Falsafah al-Tasyrî‘ al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Kasysyâf li al-Nasyr, 1956), h. 160.
[11] Ibn Rusyd, Fashl al-Maqâl fî mâ bayna al-Syarî‘ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, (Beirut: Markaz Dirâsah al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1997), h. 96-97.
[12] Masdar F. Mas’udi, Meletakkan Kembali Maslahat sebagai Acuan Syari’at, h. 97.
[13] Lihat Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, Al-Madkhal ilâ ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, h. 419; Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), h.  8; Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1986), h. 417.
[14] Syamsul Anwar, Teori Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islamdalam M. Amin Abdullah (ed.), Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), h. 198.
[15] Lihat Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd ed. Herndon, Virginia: IIIT, 1994), h. 87-92; dan Akh. Minhaji, “A Problem of Methodological Approach to Islamic Law Studies”, dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI (1999), h. iv-v.
[16] Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts, t.th.), h. 9-10.
[17] M. Hasyim Kamali, “Fiqh and Adaptation to Sosial Reality”, dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari (1996), h. 78-79.
[18] Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, (Oxford: Oneworld, 2001), h. 171.
[19] Nasr Hamid Abu Zaid, Al-Nashsh wa al-Shulthah wa al-Haqîqah: Irâdah al-Ma‘rifah wa al-Irâdah al-Haymanah, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2000), h. 92.
[20] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2003), h. 386.
[21] Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), h. 70.
[22] Nasr Hamid Abu Zaid, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: SAMHA, 2003), h. 180-181.
[23] Nasr Hamid Abu Zaid, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, h. 182-183.
[24] Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 90.
[25] Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 145-146.
[26] Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 5.

--pic source: republika.co.id

2 komentar:

  1. Terima kasih infonya, sangat lengkap dan bermanfaat!

    Asuransi Kesehatan Online

    BalasHapus
  2. Best Casino Games in Harrah's Philadelphia - Mapyro
    Find all Casino Games in Harrah's 울산광역 출장마사지 Philadelphia in 2021. 광명 출장마사지 Harrah's Philadelphia 삼척 출장안마 is located at 경주 출장샵 777 Casino Dr, Chester, PA 진주 출장샵 18702.

    BalasHapus