Jumat, 07 Desember 2012

EKONOMI ISLAM DALAM PUSARAN KAPITALISME


Abstrak
Kemunculan sistem ekonomi Islam salah satunya dipicu oleh ketidakpuasan terhadap sistem kapitalisme yang menjadi primadona perekonomian global pada abad ini. Di mata para pemikir ekonomi Islam, sitem kapitalisme telah mengakibatkan problem-problem kemanusiaan dalam kaitannya dengan masalah keadilan dan kesejahteraan sosial. Ekonomi Islam hadir sebagai alternatif untuk menjawab persoalan tersebut dengan menjangkarkan diri pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Kendati demikian, pada level praktis, sistem ekonomi Islam seringkali dihadapkan oleh persoalan-persoalan pragmatis dalam rangka melebarkan kekuatan institusionalnya sebagai sebuah lembaga perekonomian modern. Pada level ini, logika kapitalisme justeru kerap membayang-bayangi praktik ekonomi Islam di dunia kontemporer.
Kata kunci: ekonomi Islam, prinsip ekonomi Islam, sistem ekonomi Islam, kapitalisme

Pendahuluan
Dalam tiga dekade terakhir ini, banyak ikhtiar intelektual yang dilakukan oleh para pemikir Islam untuk menjelaskan kembali pemikiran ekonomi dalam Islam secara serius dan mendalam – termasuk kajian fiqh muamalah yang telah lama berkembang sejak periode Islam klasik. Geliat intelektual ini mencuat seiring dengan perhatian yang besar terhadap perkembangan ekonomi Islam belakangan ini, yang oleh para inisiatornya diusung sebagai alternatif ekonomi konvensional yang dianggap telah gagal dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Ikhtiar intelektual tersebut dilakukan lewat penelusuran kembali atau penafsiran ulang terhadap warisan literatur Islam dalam kitab-kitab fiqh, buku-buku ekonomi, praktik-praktik ekonomi yang diterapkan pada masa Nabi dan kekhalifahan yang berpegang kepada prinsip-prinsip syariah, hasil-hasil ijtihad para ulama dan metodologi yang mereka terapkan dalam menyelesaikan problematika ekonomi yang mereka hadapi pada zamannya masing-masing dan menganalisis sejauh mana kemungkinan penerapannya pada saat ini. Pemikiran ekonomi Islam ini meliputi pembahasan tentang problematika dan krisis ekonomi dan solusinya, pemikiran yang berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi, pokok-pokok prinsip ekonom Islam secara umum dan sikap ekonomi Islam terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi konvensional yang pernah ada dan berlaku saat ini (Naqliy, 1416 H: 32).
Kemunculan pemikiran ekonomi Islam modern pada awalnya bertolak dari kenyataan bahwa sistem kapitalisme yang selama ini menjadi primadona dalam aras perekonomian global dianggap telah gagal meralisasikan cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Secara global, kekuatan ekonomi di bawah sistem kapitalisme telah menyisakan sejumlah problem dalam kaitannya dengan keadilan ekonomi, baik dalam soal relasi kepemilikan, produksi, konsumsi dan distribusi. Di bawah sistem-sistem ini, manusia modern menghadapi persoalan ketidakadilan sosial, kesenjangan pendapatan, kemiskinan, diskriminasi, marjinalisasi, korupsi dan sebagainya (Carens, 1981: 2-5). Persoalan-persoalan ekonomi tersebut mempengaruhi munculnya berbagai kelompok dan strata sosial di hampir seluruh belahan dunia, dengan perbedaan dan jurang pemisah yang sangat tajam dan ditandai oleh pola relasi yang tidak harmonis, lemah rasa empati dan jarang memiliki ikatan sosial yang kuat. Ironisnya, di antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut terdapat sekelompok kecil individu yang menikmati kekayaan berlimpah dan hidup dengan kemewahan. Mereka lebih banyak memuaskan keinginan pribadi tanpa dan atau kurang memberikan kontribusi untuk kemakmuran orang lain yang kurang beruntung. Hanya sebagian kecil dari orang kaya yang peduli terhadap sesama dengan menyisihkan sebagian kekayaannya untuk menyantuni dan memberdayakan orang lain, namun jumlahnya belum memadai dan bantuan dana dari mereka masih belum memenuhi hajat mayoritas orang-orang yang lemah (Crocker, 1977: 162-166).
Ketidakpuasan terhadap sistem kapitalisme inilah yang menjadi salah satu pemicu awal para pemikir Islam untuk merumuskan sistem perekonomian yang mendasarkan diri pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Dalam konteks ini, penerapan sistem ekonomi Islam didasarkan pada beberapa tujuan utama, antara lain: Pertama, menghapuskan kemiskinan, menciptakan suasana yang kondusif dalam lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang optimal; Kedua, mempromosikan stabilitas dalam nilai tukar uang yang sesungguhnya; Ketiga, menjaga tatanan hukum dan pemerintahan; Keempat, memberikan jaminan bagi masyarakat dalam hal keadilan sosial dan ekonomi; Kelima, mengatur keamanan sosial dan meningkatkan distribusi pendapatan (income) dan kekayaan bagi negara dan masyarakat; dan Keenam, menciptakan relasi yang harmonis dengan masyarakat internasional dan menjamin pertahanan nasional (Akhtar, 1992: 29).
Tulisan ini hendak memaparkan konsep ekonomi Islam dalam kaitannya dengan sistem kapitalisme yang menjadi sasaran kritiknya. Selain menjelaskan pelbagai aspek yang berkaitan dengan bangunan ekonomi Islam, penulis juga akan menyuguhkan catatan kritis dan evaluatif dalam kaitannya dengan implementasi sistem ekonomi Islam pada level praktis dengan menelisik sejauh mana praktik-praktik ekonomi Islam kontemporer benar-benar konsisten menjalankan prinsip-prinsip Islami yang menjadi sumber acuannya.

Kritik Terhadap Kapitalisme
Persoalan ekonomi manusia secara fundamental terletak pada sebuah fakta bahwa manusia memendam keinginan (wants) yang secara umum tak dapat dipuaskan tanpa membelanjakan sumber-sumber energi manusia dan peralatan material yang terbatas (Mannan, 1991: 3-5). Apapun kondisi seorang manusia, ia pasti butuh sandang, pangan, papan dan keperluan-keperluan lain yang diupayakan tidak terputus ketersediaannya baik secara kualitas maupun kuantitas. Bahkan, nafsu manusia selalu menginginkan lebih dari kebutuhannya. Sumber alam yang terbatas semakin sulit terdistribusi secara merata dan adil karena keinginan yang berlebihan dan tidak terpuaskan. Inilah persoalan kehidupan manusia yang terus menjadi perhatian ilmu ekonomi baik pada level individu, kolektif atau dalam bentuk negara.
Meskipun motif dasar kegiatan ekonomi bertolak dari stasiun keberangkatan yang sama – yakni disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia – namun lantaran cara manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasarkan pada filosofi yang berbeda, maka timbullah pelbagai sistem dan praktik ekonomi yang beragam (Fried, 1970: 15-23). Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut. Oleh karena itu, meskipun titik tolak kegiatan ekonomi berasal dari tujuan yang sama, namun sistem yang merepresentasikannya mengejewantah dalam pelbagai model yang berbeda. Dalam sejarah ekonomi modern, model tersebut direpresentasikan dalam beberapa bentuk, antara lain kapitalisme, sosialisme, neo-liberalisme dan negara kesejahteraan (welfare state). Kendati demikian, model yang mendominasi perekonomian global hingga detik ini adalah kapitalisme.
Paham kapitalisme bersumber dari tulisan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang ditulis pada tahun 1776. Isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tentang perilaku ekonomi masyarakat. Dasar filosofis tersebut kemudian diterjemahkan menjadi sistem ekonomi dan pada gilirannya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu pandangan hidup (way of life). Smith berpendapat motif manusia melakukan kegiatan ekonomi adalah atas dasar dorongan kepentingan pribadi, yang bertindak sebagai tenaga pendorong yang membimbing manusia mengerjakan apa saja asal masyarakat sedia membayar. Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme ini kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas (Braudel, 1984: 23-25). Kebebasan ekonomi sebagai postulat dasar kapitalisme ini juga diilhami oleh pendapat Legendre dalam rekaman dialognya dengan Menteri Keuangan Perancis, Jean Bapiste Colbert, pada masa pemerintahan Louis XIV di akhir abad ke 17. Colbert bertanya kepada Legendre, “Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha?” Legendre menjawab: “Laissez nous faire” (jangan mengganggu kita, [leave us alone]). Kalimat ini kemudian populer dengan istilah laissez faire. Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai absennya intervensi pemerintah sehingga memungkinkan berkecambahnya individualisme ekonomi dan kebebasan ekonomi (Faulkner, 1978: 15-20).
Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi kapitalis berlaku free fight liberalism (sistem persaingan bebas); siapa yang memiliki dan mampu menggunakan kekuatan modal (kapital) secara efektif dan efisien akan dapat memenangkan pertarungan dalam bisnis. Paham ini mengagungkan kekuatan modal sebagai syarat memenangkan pertarungan ekonomi (Clark, 1887: 9-15). Namun ketika kaum bermodal tumbuh semakin kaya dan kaum miskin semakin termarginalkan, maka integritas sosial dan keseimbangan distribusi yang seharusnya eksis akan semakin mustahil terwujud. Nilai-nilai moral seperti persaudaraan, kerjasama, gotong royong, kasih sayang dan kebajikan manusiawi akan dengan sendirinya tergerus oleh kebencian, iri dengki, rivalitas individualis dari sebuah peradaban kapitalistik. Akibatnya, sistem ekonomi kapitalisme telah mengakibatkan kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin. Dunia saat ini telah melahirkan sekelompok kecil kaum konglomerat, namun pada saat bersamaan meninggalkan milyaran manusia hidup di bawah garis kemiskinan dan jutaan orang meninggal setiap hari karena kelaparan. Ini merupakan salah satu akibat dari penekanan pada pertumbuhan GNP dan keberpihakan berlebihan kepada pihak-pihak yang memiliki kapital besar (Haq, 1971: 7). Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Namun karena tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan yang tak terbatas, pendapatan dan kekayaan tidak terdistribusi secara merata (Furniss dan Tilton, 1977: 42).
Menurut Charles Tripp, kapitalisme dapat dipahami sebagai suatu sistem ekonomi yang dibentuk oleh kombinasi tiga aspek; imajinatif, produktif dan institusional (Tripp, 2006: 3). Pada aspek imajinatif, kapitalisme diasosiasikan dengan suatu pandangan tentang rasionalitas manusia yang menempatkan keutamaan pada kepentingan individu dan kalkulasi keuntungan yang berwatak utilitarian. Dalam banyak hal, pandangan tersebut telah menghasilkan, dan pada saat bersamaan juga dibentuk oleh, cara-cara di mana modal dan potensinya diimajinasikan, baik sebagai bahan baku, sumber finansial, mesin atau produk akhir. Semua ini direpresentasikan sebagai komoditas yang dapat dimiliki sebagai hak milik pribadi tanpa ikatan moral tertentu. Kepemilikan pribadi tersebut dapat dikalkulasi dan dinilai sejauh ia memberikan kontribusi terhadap proses-proses produktif yang diukur berdasarkan margin keuntungan.
Kepemilikan tersebut kemudian diekstensifikasi dengan cara mengembangkan matriks konsumsi yang memfokuskan pada pemuasan hasrat individu dan mengikat konstruk imajinasi konsumen yang rasional dan posesif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Secara historis, kekuatan hebat perusahaan-perusahaan kapitalis telah benar-benar bekerja, mencari pasar dan keuntungan, menciptakan inovasi produk melalui perkembangan pesat teknologi, dan mengembangbiakkan pelbagai komoditas yang merupakan sandaran utama kapitalisme itu sendiri. Proses ini telah menghasilkan inovasi kelembagaan dan mengubah lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya, seperti pasar, organisasi finansial, sistem hukum dan teritorial negara. Namun demikian, di bawah kapitalisme, proses komodifikasi telah mengambil alih segenap dunia kehidupan dalam cara-cara tertentu yang pada gilirannya telah menorehkan implikasi yang sangat mengejutkan, dimulai dengan komodifikasi tenaga kerja dan berakhir dengan komodifikasi pikiran, gagasan dan relasi sosial. Proses-proses tersebut telah dimungkinkan oleh peranan pasar, institusi-institusi klasik yang sekarang memegang posisi kelembagaan, bahkan termasuk kekuasaan normatif – dengan bobot dan skala yang tidak paralel. Elemen-elemen kelembagaan tersebut telah membentuk imajinasi dunia sosial, mendorong komodifikasi lebih lanjut dan mendikte, bahkan membatasi, bentuk-bentuk pertukaran dalam kegiatan perekonomian.
Bagi kebanyakan intelektual Muslim, sistem kapiltalisme tersebut telah menimbulkan sejumlah pertanyaan krusial, antara lain; apakah pertukaran simbolik dan pertukaran materi berada dalam harmoni; apakah mekanisme yang tepat dapat ditemukan untuk menerjemahkan rasa suka menjadi tidak suka atau sebaliknya. Baik di dunia Islam dan di tempat lain, kekhawatiran yang muncul adalah bahwa uang, terlepas dari objek-objek yang memberinya nilai, berada dalam situasi mengapung bebas, menyimpan potensi kekuatan amoral, mewakili ancaman serius terhadap tatanan sosial dan etika masyarakat. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa dalam pemikiran Islam, seperti dalam sejumlah tradisi-tradisi etis besar lainnya, pembatasan telah didesain untuk mengontrol pertukaran moneter, dengan berupaya untuk tetap terikat pada objek yang ada.
Oleh karena itu, para pemikir Islam menaruh perhatian besar terhadap perkembangan kapitalisme. Problem mendasar yang menjadi fokus kegelisahan mereka adalah pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh kapitalisme dalam kaitannya dengan masalah moral ekonomi. Di mata mereka, pemusatan pada komodifikasi barang, jasa dan relasi sosial, penekanan berlebihan terhadap hak milik pribadi, dan keleluasaan untuk mengejar kepentingan individu yang senantiasa direproduksi oleh ekonomi kapitalis akan mengancam kerangka etika kehidupan ekonomi yang telah eksis dalam tradisi Islam. Dalam konteks ini, keprihatinan para pemikir muslim terhadap persoalan moral ekonomi mengambil dua bentuk. Pertama, perturan etis dari transaksi manusia dilihat sebagai bagian dari tujuan Allah dan merupakan benteng yang diperlukan untuk menahan keretakan masyarakat. Kedua, kekhawatiran terhadap perubahan identitas masyarakat Muslim akibat terpaan modernitas, termasuk kapitalisme di dalamnya – terutama bagi mereka yang peduli pada wacana tentang masyarakat Islam yang khas dan spesifik.

Ekonomi Islam: Doktrin, Ilmu, Sistem
Dalam teori dan praktik ekonomi modern, terdapat kecenderungan umum untuk memisahkan antara ekonomi normatif dan ekonomi positif. Sejak paradigma Barat mulai begitu condong ke arah pentingnya proposisi ilmiah, analisis ekonomi lebih ditekankan kepada ekonomi positif (Hausman, 1994: 35). Friedman menyatakan bahwa ekonomi positif pada dasarnya bebas atau netral dari posisi etika dan penilaian normatif, oleh karena tujuan utamanya adalah membangun teori yang mampu menjelaskan dan memprediksi fenomena ekonomi dengan tepat (Friedman, 1953: 4). Sebaliknya, para pemikir ekonom Islam pada umumnya berpandangan bahwa aspek normatif dan positif memiliki korelasi yang sangat kuat, sehingga pemisahan antara keduanya malah cenderung menyesatkan. Hubungan tersebut menjadikan ekonomi Islam juga bersifat preskriptif, yakni memberi resep-resep bagi pembentukan tatanan perekonomian masyarakat yang lebih baik. Aspek positif dalam ekonomi Islam memberikan pemahaman tentang bagaimana ekonomi bekerja, sedangkan aspek normatifnya memberikan arah kepada pencapaian tujuan. Argumen ini didasarkan pada kenyataan bahwa al-Qur’an dan Sunah tidak hanya berbicara mengenai apa yang berlangsung dalam kehidupan, tetapi lebih jauh memberikan norma-norma yang harus dipraktikkan oleh setiap pelaku ekonomi (Hoetoro, 2007: 263).
Dalam rangka memahami prinsip-prinsip ekonomi Islam dan signifikansinya untuk pengembangan pemikiran, pengetahuan tentang sumber-sumber yang membentuknya penting untuk diketahui. Ekonomi neo-klasik Barat jarang sekali atau bahkan tidak sama sekali merujuk pada doktrin Alkitab. Sebaliknya, sumber utama inspirasi bagi ekonomi Islam adalah Kitab Suci al-Quran. Nabi Muhammad sebagai penguasa dan pemimpin umat secara khusus menaruh perhatian besar terhadap persoalan keadilan dan hak-hak ekonomi. Pengalamannya sebagai pedagang meniscayakan bahwa beliau memiliki pengetahuan praktis tentang perniagaan dan prosedur yang terlibat dalam transaksi ekonomi. Oleh karena itu, al-Quran dan Hadis memberikan panduan yang sangat eksplisit dalam bidang ekonomi. Bahkan, ruang yang dikhususkan untuk masalah-masalah ekonomi dalam al-Qur’an begitu berlimpah ketimbang apa yang tertuang dalam Alkitab – lebih dari 1.400 ayat berkenaan dengan isu-isu ekonomi. Hal ini dimungkinkan karena al-Quran pada dasarnya memberikan resep yang lengkap untuk semua aspek kehidupan, baik material maupun spiritual. Sumber otoritas lain untuk transaksi komersial di negara-negara muslim adalah fiqh danushul fiqh – yakni ilmu atau filsafat hukum Islam, khususnya pengetahuan yang diperlukan untuk interpretasi hukum Islam. Fuqaha adalah ahli hukum yang memberikan opini yang objektif tentang berbagai masalah hukum dalam relung al-Quran dan Sunah, dan pendapat-pendapat ini termasuk dalam fiqh. Pada hal-hal yang paling mendasar, terdapat konsensus di antara para ahli hukum Islam yang disebut sebagai ijma. Secara terminologis, ijma merupakan hasil ijtihad para ulama dalam perkara hukum tertentu yang kemudian menghasilkan suatu keputusan hukum yang disepakati bersama. Dalam kaitannya dengan perkara-perkara komersial dan ekonomi, terutama yang mencerminkan perkembangan modern, ijtihad memainkan peranan yang sangat penting (Ali, 2006: 24-27; Najjar, 2004: 18; dan Wilson, 2002: 103-105).
Berdasarkan pada sumber-sumber itulah para pemikir Islam memformulasikan ekonomi Islam, baik pada level teoretik maupun aplikatif. Dalam konteks ini, ekonomi Islam dapat dipahami sebagai doktrin maupun praktik. Ia disebut doktrin apabila dilihat dari segi sumber dan dasar-dasarnya, sedangkan disebut praktik apabila dilihat dari segi implementasi dan aplikasinya. Islam hanya mengenal satu doktrin ekonomi, yaitu dasar-dasar dan prinsip-prinsip ekonomi yang berasal dari al-Qur’an dan Sunah. Pada level ini, ekonomi Islam bersifat ilahiah, sebab ia merupakan prinsip-prinsip ekonomi yang berasal dari wahyu Tuhan. Ia senantiasa relevan dalam setiap ruang dan waktu dan tidak menerima perubahan. Oleh sebab itu, dalam keadaan apapun, tidak terdapat perbedaan pada level doktrinal ini (Fanjari, 1994: 19-20). Di sisi lain, ekonomi Islam sebagai sebuah praktik direpresentasikan dalam bentuk teori pada level pemikiran dan sistem pada level penerapan. Pada level ini, ekonomi Islam bersifat ijtihadi, yakni produk penalaran para ulama berdasarkan sumber-sumber epistemik syariah Islam. Oleh sebab itu, sangat mungkin terjadi perbedaan antara satu teori/sistem ekonomi Islam dengan teori/sistem ekonomi Islam lainnya, sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu.
Dengan kata lain, ekonomi Islam memiliki dua aspek, yaitu aspek permanen dan aspek perubahan. Aspek permanen bertautan dengan prinsip, yakni sehimpunan dasar-dasar dan prinsip-prinsip ekonomi yang diajarkan oleh al-Qur’an dan Sunah untuk diimplementasikan oleh umat Islam dalam setiap ruang dan waktu terlepas dari tingkat perkembangan perekonomian suatu masyarakat dan bentuk-bentuk produksi yang dominan pada suatu masa. Sedangkan aspek perubahan berkaitan dengan tataran aplikatif ekonomi syariah, yakni berupa kebijakan praktis dan analisis yang diformulasikan oleh para ulama dan pemikir ekonomi syariah untuk mentransformasikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip ekonomi syariah dalam realitas empirik masyarakat Islam (Fanjari, t.th.: 12).
Dengan demikian, ekonomi Islam dapat dipahami sebagai doktrin, ilmu maupun sistem. Sebagai sebuah doktrin, ekonomi Islam merupakan sejumlah prinsip-prinsip perekonomian yang bersifat permanen yang dijadikan sebagai dasar bagi teori ekonomi Islam (Najjar, 2004: 25). Dari teori yang mendasarkan diri pada doktrin inilah kemudian muncul ilmu ekonomi Islam yang bertujuan untuk menafsirkan, menganalisis, dan mengevaluasi fenomena perekonomian (Dabbu, 2008: 16; Najjar, 2004: 23). Di sisi lain, ekonomi Islam juga dapat dilihat sebagai sebuah sistem, yakni institusi perekonomian yang berupaya mendesain orientasi dan perangkat yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan ekonomi Islam. Orientasi utama sistem ekonomi Islam adalah untuk merealisasikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi individu dan masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam kondisi apapun, sistem ekonomi Islam senantiasa mendasarkan diri pada doktrin ekonomi Islam, karena sistem ekonomi Islam hanyalah salah satu komponen dari bangunan syariah Islam secara keseluruhan (Shadr, 1375 H: 315-319; Ali, 2006: 22; dan Najjar, 2004: 25-26.
Keseluruhan bangunan ekonomi Islam ini memiliki prinsip-prinsip yang berbeda dengan sistem kapitalisme. Perbedaan ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan konsep kepemilikan, kebebasan dan jaminan sosial. Dalam ekonomi Islam, konsep kepemilikan didasarkan pada prinsip kepemilikan ganda” (al-milkiyyah al-muzdawijah). Islam menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara individu dan masyarakat. Oleh sebab itu, antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan masyarakat tidak perlu saling dibenturkan. Sebaliknya, Islam memandang bahwa individu dan masyarakat saling menopang antara satu sama lain, karena manusia pada dasarnya selalu hidup sebagai individu sekaligus masyarakat; ia membutuhkan kedua dimensi tersebut (Wahid, 1995: 33). Dengan demikian, baik kepemilikan individu maupun kepemilikan sosial bersifat otentik pada dirinya; yang satu bukan merupakan derivasi atau substitusi bagi yang lain, tetapi keduanya saling melengkapi antara satu sama lain. Berdasarkan pengakuan terhadap kedua jenis kepemilikan ini, maka salah satu tujuan dari ekonomi syariah adalah merealisasikan keseimbangan antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan masyarakat (Ali, 2006: 79).
Dalam Islam terdapat konsepsi yang menegaskan bahwa setiap individu bebas mengelola harta bendanya sendiri dan tidak seorang pun dapat mengganggunya dan ikut campur di dalamnya tanpa kerelaannya, bila tetap memperhatikan kepentingan umum dan tidak mengganggu dan merusaknya. Bahkan pemerintah sekalipun tidak berhak melakukan intervensi, tanpa legitimasi hukum yang jelas. Menurut al-Syafi‘i, manusia bebas sepenuhnya mempergunakan harta miliknya. Tidak seorang pun berhak mengambil harta tersebut atau sebagiannya tanpa hak dan kerelaannya, kecuali pada pos-pos yang diharuskan (Muzaniy, t.th.: 92). Sebaliknya negara berkewajiban mendistribusikan tanah dan kekayaan lainnya untuk kepentingan rakyat secara merata dan adil, serta mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang (Ra’ana, 1991: 12-15).
Di sisi lain, Islam juga mengakui hak kepemilikan kolektif. Hak kepemilikan kolektif dimaksud adalah harta kekayaan yang secara khusus digunakan untuk kemaslahatan umum. Ia berbeda dengan kepemilikan individu yang pemanfaatannya hanya diarahkan pada kepentingan pribadi tertentu (Najjar, 2004: 170). Kepemilikan kolektif terkait dengan kepentingan umum dan hajat orang banyak dalam hal sumber kekayaan utama yang ada dalam suatu negara. Oleh sebab itu, ia tidak dapat dimiliki oleh individu tertentu, namun setiap anggota masyarakat berhak memanfaatkan sumber-sumber kekayaan negara tersebut sesuai dengan kebutuhan masing-masing (Salus, 1998: 42). Kekayaan negara dimaksud adalah harta yang merupakan hak bagi seluruh rakyat dan pengelolaannya menjadi wewenang negara, di mana negara berhak memberikan atau mengkhususkannya kepada sebagian rakyat sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah (Nabhani, 1990: 218). Sebagaimana kepemilikan individu, kepemilikan kolektif juga terikat oleh ketentuan-ketentuan syariah, karena itu ia tidak bersifat mutlak. Harta kekayaan milik sosial harus diarahkan untuk merealisasikan tujuan yang luhur, yakni melindungi kemaslahatan masyarakat dalam suatu negara. Oleh sebab itu, negara tidak boleh menggunakan harta kekayaan milik umum secara semena-mena, namun terikat oleh ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariah Islam.
Ekonomi Islam juga mengintrodusir konsep kebebasan yang berbeda dengan sistem kapitalisme. Menurut ajaran Islam, prinsip kebebasan ekonomi harus mengikuti beberapa ketentuan berikut. Pertama, Islam melarang pelbagai kegiatan perekonomian yang bertentangan dengan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti riba, eksploitasi, monopoli, dan lain sebagainya. Sebagaimana diketahui, setiap kegiatan perekonomian pada dasarnya diperbolehkan selama tidak ada nash yang menyatakannya haram. Ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menyatakan bahwa pada dasarnya segala sesuatu diperbolehkan sejauh tidak ada ketentuan yang menyatakan haram” (al-asl fî al-asyyâ’ al-ibâhah illâ mâ dalla dalîlun ‘alâ tahrîmihâ). Kedua, Islam memberikan ruang bagi penguasa untuk mengawasi pelbagai kegiatan perekonomian dan memperkenankan intervensi negara demi terjaminnya kemaslahatan umum (maslahah âmmah), terutama ketika kebebasan individu dianggap mencederai kemaslahatan sosial. Ketiga, Islam menekankan kepada setiap individu untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu terkait dengan harta yang dimilikinya (Ali, 2000: 87-88).
Dengan demikian, kebebasan ekonomi dalam bingkai ajaran Islam mengacu pada kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu dalam mengembangkan hartanya dengan cara yang baik, di samping harus tetap berusaha menghindari praktik perekonomian yang diharamkan, baik dengan cara riba, menimbun harta (al-ihtikâr), dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dari kebebasan-kebebasan tersebut. Pertama, memperhatikan ketentuan halal dan haram. Kedua, komitmen terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan syariah Islam. Ketiga, tidak menyerahkan pengelolaan harta kepada orang-orang yang bodoh, gila, dan lemah. Keempat, hak untuk berserikat dengan mitra kerja. Kelima, tidak dibenarkan mengelola harta pribadi yang merugikan kepentingan orang banyak (Izzan dan Tanjung, 2006: 34-36).
Konsep sentral lain dalam bangunan ekonomi Islam adalah “jaminan sosial”. Istilah jaminan sosial dalam sistem ekonomi Islam mengacu kepada segenap kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap anggota masyarakat antara satu sama lain. Kewajiban tersebut bukan sekedar memberikan simpati yang bersifat maknawi, seperti rasa cinta, kebaikan, amar makruf dan nahi munkar, tetapi juga simpati yang bersifat materi, yakni dengan cara memberikan bantuan material kepada anggota masyarakat yang membutuhkan. Karakteristik jaminan sosial dalam Islam bersifat komprehensif, yakni ditujukan untuk seluruh kelompok masyarakat yang membutuhkan, baik keadaan membutuhkan tersebut bersifat permanen, yakni akibat kelemahan tubuh (fisik) dan pikiran, atau bersifat temporal, seperti dalam perjalanan atau dalam masa krisis (Najjar, 2004: 213-214). Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan beberapa kelompok masyarakat yang harus memperoleh jaminan sosial, antara lain orang-orang fakir, orang-orang miskin, para mu’allaf, orang-orang yang berhutang, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (Q.S. Al-Taubah/9: 60).
Jaminan sosial bagi orang-orang yang membutuhkan ini merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suatu negara, yakni dengan cara mengambil sebagian harta orang-orang kaya untuk didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Oleh sebab itu, pemerintah dituntut untuk mengetahui secara detail keadaan rakyatnya. Apa yang diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan pada dasarnya bukanlah suatu pemberian, melainkan hak mereka yang harus dipenuhi oleh negara dan orang-orang kaya, terutama apabila orang-orang yang membutuhkan tersebut tidak mampu berusaha akibat keterbatasan yang mereka miliki (Syalabi, 1993: 44-45).
Prinsip-prinsip di atas merupakan fondasi penting dalam proses penerapan sistem ekonomi Islam pada level praktis. Pada hari ini, implementasi dan institusionalisasi sistem ekonomi Islam telah merambah ke dalam pelbagai bidang yangu cukup luas, antara lain perbankan, asuransi, obligasi, pasar modal, sekuritas, pegadaian, penjaminan, pembiayaan, dan sebagainya. Persoalannya, apakah sistem ekonomi Islam ini mampu bertahan menghadapi gempuran hebat ekonomi sekuler yang berbasis pasar bebas dan sejauh mana mana lembaga-lembaga ekonomi Islam ini konsiten menjalankan prinsip-prinsip Islami yang menjadi rujukannya, merupakan pertanyaan-pertanyan penting yang masih menunggu pembuktian.

Perkembangan Mutakhir Praktik Ekonomi Islam; Islamisasi atau Kapitalisasi?
Secara normatif, pembentukan lembaga-lembaga ekonomi Islam di negara-negara Muslim dilihat sebagai salah satu langkah yang diambil pemerintah untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan ekonomi nasional. Hal ini secara khusus menjadi relevan dalam menjawab munculnya kesadaran Islam di pelbagai penjuru dunia – yang dipercepat setelah revolusi Iran tahun 1979. Dengan latar belakang inilah maka kebangkitan Islam terjadi. Kebangkitan Islam merupakan suatu ikhtiar untuk membentuk kembali nilai-nilai Islam, praktik-praktik Islam, lembaga-lembaga Islam, hukum Islam dan tentu saja Islam secara keseluruhan dalam kehidupan kaum Muslimin. Bahkan para pembangkit gerakan Islam pada dasarnya juga menginginkan tatanan sosial yang baru untuk merealisasikan model sistem pendidikan Islam, sistem tatanan politik Islam, sistem hukum Islam dan sistem ekonomi Islam.
Sejak satu sampai dua dasawarsa belakangan ini, bidang ekonomi dan keuangan Islam mulai menampakkan eksistensinya di hampir semua negara Islam, bahkan di negara-negara Barat, terutama dalam bentuk lembaga perbankan yang kemudian disusul oleh lembaga asuransi dan lembaga keuangan non-perbankan lainnya. Tonggak awal realisasi ekonomi Islam dimulai pada tahun 1975 ketika didirikannya Internasional Development Bank (IDB) di Jeddah. Setelah itu, di pelbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga-lembaga keuangan Islam. Sejak saat itu, perkembangan kebutuhan akan lembaga perbankan Islami semakin terus menguat, terutama ketika pertama kali diselenggarakan Konferensi Internasional tentang ekonomi Islam di Mekah pada tahun 1976. (Sumitro, 1997: 1 – 2; Anshari, 1993: 32; Ghani, 1999: 32; Fuady, 1999: 168; dan Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, 2002: 22-23). Pada saat ini, di dunia telah berkembang lebih dari 400-an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya (http://zonaekis.com/kebangkitan-kembali-ekonomi-islam/).
Pasca krisis ekonomi global, perbankan syariah dianggap sebagai alternarif baru pertumbuhan pembiayaan internasional. Meski pangsa pasar masih berada di kisaran dua hingga tiga persen dari aset pembiayaan global atau sekitar satu triliun dolar AS, keuangan tanpa riba ini tumbuh rata-rata 25 persen per tahun. Statistik menunjukan aset lembaga keuangan syariah secara global terus menunjukan pertumbuhan sekitar 10 persen per tahun. Keuangan lembaga syariah secara global meriah pencapaian 800 dolar AS, beranjak dari aset awal di 1990 sekitar 150 dolar AS (http://zonaekis.com/london-jadi-pusat-perkembangan-keuangan-syariah-global/). Dana Moneter Internasional bahkan memperkirakan aset perbankan Islam akan tumbuh 15 persen per tahun, dimana aset tersebut akan berjumlah 1 triliun dolar AS pada 2016. Dalam satu dekade terakhir industri perbankan Islam adalah salah satu yang mengalami pertumbuhan tercepat di dunia keuangan global dengan pertumbuhan antara 10-15 persen per tahun (http://zonaekis.com/imf-aset-perbankan-syariah-2016-capai-1-triliun-dolar/).
Tingkat pertumbuhan perbankan syariah yang begitu cepat dimotori oleh meningkatnya permintaan dari umat muslim, meningkatnya pendapatan minyak di Timur Tengah, dan minat investor non muslim akan praktik perbankan beretika. Sebagaimana dimuat laman The Street, Jumat (17/9), perbankan syariah kini menjadi bagian penting dari ekonomi global dengan kehadiran di 75 negara. Hingga hari ini, Timur Tengah memiliki pangsa perbankan Islam terbesar dari sisi aset dengan besaran 60 persen. Hal itu didukung oleh beroperasinya tiga bank terbesar di sana, yaitu Al Rajhi Bank, Bank Saderat Iran, dan Kuwait Finance House. Di pihak lain, Malaysia memperkukuh posisinya sebagai pusat keuangan Islam. Keberhasilan perbankan Islam Malaysia tersebut didukung oleh kuatnya dukungan dan implementasi peraturan pemerintah, melibatkan bank konvensional dalam pengembangannya, dan terus mendukung lembaga-lembaga keuangan lainnya (http://zonaekis.com/imf-aset-perbankan-syariah-2016-capai-1-triliun-dolar/).
Di luar negara mayoritas muslim, Inggris mengambil posisi sebagai pusat keuangan Islam di negara Barat. Ketika HSBC Holdings menawarkan pembiayaan perumahan sesuai dengan prinsip syariah pada 2004, hampir setengah dari nasabahnya adalah non muslim karena tertarik dengan pricing yang diberikan HSBC. Inggris merupakan salah satu negara yang memiliki sektor keuangan Islam paling berkembang di dunia. Tercatat hingga 2010, Kerajaan Inggris merupakan negara barat dengan jumlah bank yang menyediakan layanan berbasis syariah terbanyak. Pemerintah Inggris bahkan berambisi menjadikan kota London sebagai pusat transaksi syariah dunia (http://zonaekis.com/london-pusat-penghubung-transaksi-syariah-dunia/). Pada bulan Maret tahun  2011 lalu, Inggris membentuk Sekretariat Keuangan Syariah (IFS) di London. Badan tersebut bertujuan untuk mempromosikan dan mengkoordinasi pengembangan keuangan syariah di Inggris. Ia menambahkan, IFS akan berusaha membangun misalnya 22 bank Islam yang beroperasi di London. Selain itu, setidaknya dua puluh sukuk telah diterbitkan dan masuk ke London Stock Exchange dengan jumlah dana sebesar 11 miliar dolar AS. Sementara sekitar 20 firma hukum di London pun turut serta menyediakan layanan terkait keuangan syariah. Pangeran Andrew menuturkan, dua bank Inggris terkemuka, yaitu HSBC dan Standard Chartered, juga telah beroperasi di Malaysia (http://zonaekis.com/inggris-ingin-jadi-pemain-besar-keuangan-syariah/).
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi syariah dalam dua puluh tahun terakhir mengalami kemajuan yang begitu pesat, terutama jika dilihat dalam perkembangan lembaga keuangan syaraih, baik bank maupun non bank. Dalam kaitannya dengan perkembangan perbankan syariah, Bank Indonesia memberikan laporan bahwa jumlah bank syariah hingga Maret 2010 sebanyak 186 bank, meliputi 11 Bank Umum Syariah (BUS), 23 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 152 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) (http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Publikasi+Lain/Publikasi+Lainnya/outlookperbankansyariah_2011.htm). Secara geografis, sebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat dilebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Selama 5 tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan total aset perbankan syariah mencapai 33% per tahun. Sampai dengan akhir Oktober 2010, total aset perbankan syariah telah mencapai Rp. 86 triliun (http://www.newsbanking.com/2010/12/outlook-perbankan-syariah-2011.html).
Dalam catatan Dhani Gunawan Idat, pada tahun 2010, perbankan syariah mengalami pertumbuhan volume usaha yang relatif pesat, yaitu mencapai 47,6% – terutama jika dibandingkan dengan perbankan nasional yang asetnya hanya tumbuh 18,7%. Peningkatan tersebut antara lain didorong oleh berdirinya sejumlah Bank Umum Syariah (BUS) baru dan jaringan kantor perbankan syariah. Di samping itu, sisi pendanaan perbankan syariah juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi di mana pada tahun 2010 DPK mengalami pertumbuhan sebesar 45,06% dibandingkan tahun 2009. Penyumbang kenaikan DPK terbesar masih berasala dari nasabah korporasi. Salah satu faktor utama yang mendorong kenaikan DPK adalah imbal hasil perbankan syariah yang relatif lebih menguntungkan dibandingkan imbal hasil perbankan konvensional. Selain itu, kegiatan edukasi masyarakat yeng terus dilakukan dalam rangka memperkenalkan produk dan keunggulan sistem perbankan syariah semakin mampu menarik perhatian nasabah-nasabah baru (Idat, 2011: 26).
Pesatnya pertumbuhan ekonomi Islam akhir-akhir ini tentu saja telah meniupkan angin segar yang cukup menggembirakan bagi umat Islam. Namun demikian, benarkah pertumbuhan ekonomi Islam ini merupakan manifestasi dari penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dalam bidang ekonomi. Jika mengamati praktik-praktik yang ada, nampaknya pertumbuhan tersebut lebih mencerminkan pertumbuhan secara kuantitatif dan belum memperlihatkan perkembangan secara kualitatif. Bahkan, pertumbuhan bank syariah cenderung hanyut dalam arus konvensional dan terkesan mencerminkan hegemoni nalar pasar. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam paradigma pengembangan ekonomi Islam yang masih didominasi oleh nalar formal-struktural. Paradigma ini telah mengakibatkan terjadinya degradasi orientasi fiqh muamalah; dari orientasi nilai (value oriented) ke orientasi mekanis (mechanism oriented). Dalam banyak kasus, akad-akad muamalah dianggap sah apabila terpenuhi mekanisme rukun dan syarat namun kehilangan nilai yang harus ditanamkan. Misalnya, akad mudhârabah yang pada dasarnya memiliki spirit pemerataan kesempatan kerja dan modal, justeru tidak begitu berkembang ketimbang akad murâbahah – hampir 60% kegiatan bank syariah menggunakan produk murâbahah.
Menurut Akh. Minhaji, situasi ini terjadi lantaran titik tolak pengembangan ekonomi Islam didasarkan pada kerangka epistemik ekonomi Barat. Hasilnya, ekonomi Islam menjadi mainstream namun kehilangan al-quwwah al-ma’rifiyyah atau nilai-nilai universal, seperti keadilan dan pemerataan kesempatan kerja sebagaimana yang terkandung dalam akad mudhârabah. Menurut Minhaji, fenomena ini terjadi karena ushul fiqh sebagai metodologi dalam studi Islam telah digunakan dalam porsi yang keliru; ushul fiqh dimaknai hanya sebagai metode penemuan hukum, bukan sebagai the queen of Islamic science (Minhaji, 1999: 20). Efek dari kekeliruan memposisikan ushul fiqh sebagai metodologi adalah lahirnya fatwa, peraturan perundang-undangan maupun peraturan BI yang secara umum tidak bisa lepas dari kepentingan pemilik modal. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi di perbankan Islam cenderung memihak pada pemilik modal dan agunan ketimbang membuka kesempatan kerja bagi rakyat kecil dan kelas menengah ke bawah (lower-middle class) yang memiliki kapasitas dan kompetensi tertentu yang dapat dikembangkan, namun mengalami benturan pada level modal dan pembiayaan. 
Di lain pihak, Riawan Amin justeru melihat fenomena pertumbuhan bank syariah melalui kaca mata yang berbeda. Dalam pandangannya, masyarakat muslim perlu menunda sejenak untuk menikmati kebanggaan atas pertumbuhan bank syariah, karena realitas yang ada sesungguhnya masih jauh panggang dari api. Jika memperbincangkan dunia perbankan sebagai sebuah industri, pertumbuhan produksi bank syariah di Indonesia masih terlalu jauh dibandingkan dengan bank-bank konvensional. Dari 3.000 triliyun rupiah produksi bank di seluruh Indonesia, bank syariah hanya mendapat jatah 3 persen, sementara 97 persennya masih didominasi oleh bank-bank konvensional. Amin menengarai bahwa kondisi tersebut terjadi akibat dua hal: Pertama, masyarakat muslim terlalu banyak berkutat pada isu “halal-haram” pada setiap produk baru bank syariah. Di tengah masyarakat terdapat pemahaman bahwa bank syariah harus lebih ketat. Padahal, pemahaman tersebut justeru menyebabkan perbankan syariah menjadi kaku dan sulit menghasilkan produk-produk yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; dan Kedua, “hiruk-pikuk” maraknya bank syariah di negeri ini secara sengaja atau tidak sengaja terjebak dalam politik mercusuar – bank syariah seolah-olah telah menguasai pasar, padahal realitasnya baru mendapat “kue pasar” 3 persen. Menurut Amin, pada level individu, idealisme akan kemurnian bank syariah memang harus menjadi acuan. Namun pada level institusi, terlebih lagi pada level industri, strategi ekonomi Islam harus fokus pada perjuangan yang lebih besar dan lebih penting, yaitu bagaimana mensyariahkan bank konvensional yang 97% menguasai perekonomian Tanah Air, bukan mempermasalahkan kesahihan bank syariah yang baru merangkak 3%. Dengan kata lain, bagaimana memfokuskan untuk menghilangkan mafsadat dengan mensyariahkan bank konvensional daripada mengejar maslahat dengan mensyariahkan bank syariah, karena pada akhirnya ketika mafsadat itu hilang maka maslahat akan bertambah (Amin, 2011: 1-3).
Perbedaan sudut pandang di atas sesungguhnya merefleksikan proses tarik-menarik antara kepentingan ideologis dengan kepentingan pragmatis dalam diskursus dan praktik ekonomi Islam. Di satu sisi, bank syariah cenderung terseret ke dalam arus sistem konvensional dan terjebak ke dalam simbol-simbol populer yang dianggap sebagai trend zaman, sehingga bank syariah hanya menjadi “kode kultural” yang mempresentasikan penampakan luar yang hambar dari substansi dan nilai-nilai Islam. Di sisi lain, bank syariah justeru dihadapkan oleh batasan-batasan kaku fiqh tradisional ketika hendak memenuhi kebutuhan pragmatisnya dalam rangka memperluas dimensi institusional dan sayap operasionalnya sebagai sebuah industri perbankan modern. Dalam proses tarik-menarik ini, ekonomi Islam masih perlu mendefinisikan dirinya secara terus-menerus; mengeliminasi cengkraman kapitalisme atau memodifikasi pesona kapitalisme. Barangkali inilah “pekerjaan rumah” yang harus segera dijawab oleh umat Islam, baik kalangan intelektual, pelaku ekonomi, maupun masyarakat pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Akhatar, Wazir. (1992). Economics in Islamic Law. New Delhi: Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan.
Ali, Shalih Humaid al. (2000). ‘Anâsir al-Intâj fî al-Iqtisâd al-Islâmî wa al-Nizhâm al-Iqtishâdiyyah al-Mu‘âshirah: Dirâsah Muqâranah. Beirut: Dar al-Yamamah.
Ali, Shalih Humaid al. (2006). Ma‘âlim al-Iqtishâd al-Islâmî: Dirâsah Ta’shîliyyah li Maudhû‘ât al-Iqtishâd al-Islâmî wa Mabâdi’ih wa Khashâ’ishih. (ed.) Nur al-Din Itr. Beirut: al-Yamamah.
Amin, A. Riawan. (2011). “Bank Syariah Indonesia: Dilambungkan Untuk Dibonsai”, Makalah dipresentasikan dalam acara Seminar Nasional Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Juni 2011.
Anshari, al. (1993). Al-Bunûk al-Islâmiyah. Jakarta: Minaret.
Braudel, Fernand. (1984). Capitalism and Civilization. New York: Harper & Row.
Carens, Joseph. (1981). Equality, Moral Incentives and the Market. Chicago: Chicago University Press.
Clark, John B. (1887). Philosophy Of Wealth. Boston: Gixn & Company.
Crocker, Lawrence. (1977). “Equality, Solidarity, and Rawls' Maximin,” dalam Philosophy and Public Affairs.
Dabbu, Ibrahim Fadhil al. (2008). Al-Iqtisâd al-Islâmî: Dirâsah wa Tatbîq. Jordan: Dar al-Manahij,.
Fanjari, Muhammad Syauqi al. (1994). Al-Wajîz fî al-Iqtisâd al-Islâmî. Kairo: Dar al-Syuruq.
Fanjari, Muhammad Syauqi al. (t.th.). Nahwa Iqtisâd Islâmî: al-Manhaj wa al-Mafhûm. Dar al-Zayidi li al-Thiba‘ah wa al-Nasyr.
Faulkner, Harold. (1978). The Decline of Laissez Faire. New York: Holmes.
Fried, Morton. (1970). The Evolution of Political Society. New York: Random House.
Friedman, Milton. (1953). Essays in Positive Economics. Chicago: The University of Chicago Press.
Fuady, Munir. (1999). Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998. Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Furniss, Norman dan Tilton, Timothy. ed. (1977). The Case of Welfare State: From Social Security to Social Equality. Bloomington, Indiana: International Union Press.
Ghani, AB. Mumin AB. (1999). Sistem Kewangan Islam dan Pelaksanaannya di Malaysia. Kuala Lumpur: Matang Cipta Sdn Bhd.
Haq, Mahbub ul. (1971). “Employment and Income Distribution in the 1970’s: A New Perspective”, dalam Development Digest.
Hausman, Daniel M. 1994. The Philosophy of Economic: an Anthology. Cambridge: Cambridge University Press.
Hoetoro, Arief. 2007. Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodology. Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Publikasi+Lain/Publikasi+Lainnya/outlookperbankansyariah_2011.htm
http://www.newsbanking.com/2010/12/outlook-perbankan-syariah-2011, diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/imf-aset-perbankan-syariah-2016-capai-1-triliun-dolar/, diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/imf-aset-perbankan-syariah-2016-capai-1-triliun-dolar/, diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/inggris-ingin-jadi-pemain-besar-keuangan-syariah/, diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/kebangkitan-kembali-ekonomi-islam/, diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/london-jadi-pusat-perkembangan-keuangan-syariah-global/, diakses pada tanggal 17 November 2011.
http://zonaekis.com/london-pusat-penghubung-transaksi-syariah-dunia/, diakses pada tanggal 17 November 2011.
Idat, Dhani Gunawan. (2011). “Dinamika Perkembangan dan Pertumbuhan Ekonomi dan Perbankan Syariah di Indonesia”, Makalah dipresentasikan dalam acara Seminar Nasional Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18 Juni 2011.
Izzan, Ahmad dan Tanjung, Syahri. ed. (2006). Referensi Ekonomi Syari‘ah: Ayat-ayat al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mannan, M.A. (1991). Islamic Economics: Theory and Practice, a Comparative Study. Lahore, Pakistan: sh. Muhammad Ashraf Publishers.
Minhaji, Akh. (1999). “Reorientasi Kajian Ushul Fiqh”, Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI/1999.
Muzaniy, Isma‘il ibn Yahya al. (t.th.). Mukhtasar al-Muzânî. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Nabhani, Taqiyy al-Din al. (1990). Al-Nizâm al-Iqtisâdî fî al-Islâm. Beirut: Dar al-Umamah.
Najjar, Mushlih Abd al-Hayy al. (2004). Al-Nizhâm al-Mâlî wa al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Riyadh: Maktabah al-Rusyd.
Naqliy, Isham Abbas Muhammad ‘Aliy. (1416 H). Tahlîl al-Fikr al-Iqtishâdî fî al-‘Ashr al-‘Abbâsî al-Awwal. Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qurâ’.
Ra’ana, Irfan Mahmud. (1991). Economic System under Umar the Great. Lahore: Sh. M.Ashraf.
Salus, Ali Ahmad al. (1998). Al-Iqtisâd al-Islâmî wa al-Qadâyâ al-Fiqhiyyah al-Muâsirah. Beirut: Dar al-Tsaqafah.
Shadr, Sayyid Muhammad Baqir al. (1375 H). Iqtishâdunâ. Kharastan: Maktabah al-I‘lam al-Islami.
Sumitro, Warkum. (1997). Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syalabi, Ahmad. (1993). Al-Iqtisâd fî al-Fikr al-Islâmî. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. (2002). Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Tripp, Charles. (2006). Islam and the Moral Economy: The Challenge of Capitalism. Cambridge: Cambridge University Press.
Wahid, al-Sayyid Athiyyah Abd al. (1995). Mabâdi’ al-Iqtisâd al-Islâmî. Kairo: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah.
Wilson, Rodney. (2002). Economic Development in The Middle East. London and New York: Routledge Taylor & Francis e-Library.

--pic source: metrojambi.com