Abstrak
Efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankan syariah
sangat bergantung pada komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga
yang terkait dengan perbankan syariah, seperti DSN dan DPS. Salah
satu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan DSN dan
DPS tersebut adalah dengan cara mengadakan unit atau direktorat perbankan
syariah dalam struktur organisasi OJK. Selain itu, struktur
keanggotaan DK-OJK yang akan disahkan oleh Pemerintah dan DPR perlu
mempertimbangkan SDM yang memiliki komitmen dan pemahaman mengenai keuangan dan
perbankan syariah, sehingga OJK diharapkan memiliki skema dan prosedur
dalam pengembangan perbankan syariah.
Kata kunci: efektifitas, regulasi, supervisi, koordinasi.
Pendahuluan
Lembaga keuangan di Indonesia
secara umum dibagi menjadi dua, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan nonbank. Lembaga keuangan bank meliputi bank umum, bank syariah, dan
BPR (umum dan syariah). Lembaga keuangan nonbank meliputi perasuransian, pasar
modal, perusahaan pegadaian, dana pensiun, koperasi, dan lembaga penjaminan dan
pembiayaan—perusahaan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga pembiayaan
antara lain perusahaan sewa guna usaha (leasing), perusahaan pembiayaan
konsumen, dan perusahaan modal ventura.
Regulasi dan supervisi
terhadap lembaga keuangan bank dan nonbank selama ini ditangani oleh institusi
yang berbeda. Lembaga keuangan bank diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia
(BI), sedangkan lembaga keuangan nonbank seluruhnya diawasi oleh
Bapepam-LK—sebuah lembaga yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan. Regulasi
dan supervisi sektor perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia berdasarkan
amanat UU Nomor 6 Tahun 2009. Sektor perbankan diatur dan diawasi oleh BI
karena sektor tersebut memiliki pertautan erat dengan kebijakan
moneter—mengawasi dan mengatur sektor perbankan merupakan salah satu tugas
untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah.
Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 22 November 2011,
kebijakan politik hukum nasional mulai mengintrodusir paradigma baru dalam
menerapkan model pengaturan dan pengawasan terhadap industri keuangan
Indonesia. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tersebut, pengaturan dan pengawasan
lembaga keuangan menjadi kewenangan OJK. Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 21 Tahun
2011, OJK memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan
pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan. Melalui Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011 tersebut, Indonesia akan
menerapkan model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi (integration
approach), yang berarti akan meninggalkan model pengawasan secara
institusional. Dengan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2011 ini, maka seluruh
fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih
tersebar di BI dan Bapepam-LK akan menyatu ke dalam OJK.
Kendati demikian, kebijakan baru ini telah
menyisakan keraguan dan kekhawatiran di benak beberapa kalangan dalam kaitannya
dengan efektivitas OJK. Sebagaimana diketahui, salah satu alasan utama
penggabungan otoritas regulasi dan supervisi yang diintrodusir OJK tersebut
adalah dalam rangka mewujudkan efisiensi dan memicu perkembangan lembaga
keuangan. Namun menurut beberapa kalangan, belum terdapat suatu bukti empiris
mengenai keunggulan dari penggabungan otoritas pengaturan dan pengawasan
tersebut terutama baik dari sisi mikro prudensial maupun dari sisi stabilitas
sistem keuangan. Oleh karena itu, salah
satu tantangan serius yang harus diperhatikan adalah bagaimana membangun
kepercayaan masyarakat bahwa OJK akan mampu menjalankan perannya secara baik.
Dalam konteks ini, penulis akan mencoba
memotret kemungkinan efektifitas pengawasan OJK terhadap lembaga perbankan
syariah. Sebagaimana diketahui, masa depan pertumbuhan
industri perbankan syariah sempat melahirkan tanda tanya ketika pengawasan
perbankan beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan pada 2013.
Tanda tanya tersebut paling tidak dilatar belakangi oleh beberapa faktor. Pertama,
UU OJK tidak secara eksplisit menjelaskan perihal cetak biru (blueprint)
pengembangan industri perbankan syariah—hal ini berbeda dengan Bank Indonesia
yang memiliki Direktorat Perbankan Syariah. Kedua, UU OJK terkesan diam (silent) terhadap jasa keuangan berbasis
syariah, karena dalam UU tersebut kata
syariah hanya muncul satu kali saja, yaitu pada Pasal 1 Ketentuan Umum butir
Nomor 5. Ketiga, susunan anggota Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) belum menunjukkan spirit
keberpihakan terhadap industri perbankan syariah dan belum merepresentasikan
keterlibatan bank syariah sebagai lembaga keuangan.
Signifikansi Lembaga
Pengawasan Sektor Keuangan
Pertumbuhan perekonomian yang
pesat tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sistem keuangan yang semakin
canggih. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya
kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah
menciptakan sistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis, dan saling terkait
antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping
itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di
berbagai subsektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi
antar-lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.
Sektor keuangan memainkan
peranan krusial dalam sistem perekonomian melalui pertumbuhan ekonomi,
akumulasi kapital, dan inovasi teknologi.[1]
Fungsi intermediasi memungkinkan lembaga keuangan menggalang dana dari pihak
yang memiliki kelebihan dana dan menyalurkannya ke pihak yang membutuhkan dana
khususnya pada sektor riil. Sektor inilah yang menjaga keseimbangan antar
sektor perekonomian dan memastikan roda perekonomian tetap berputar. Sistem
keuangan memainkan peranan penting dalam perekonomian karena sistem keuangan
berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus finansial
kepada pihak yang mengalami defisit finansial. Apabila sistem keuangan tidak
stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan
berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Regulasi dan supervisi sektor
keuangan yang kuat merupakan faktor yang sangat krusial dalam rangka
mengimbangi perkembangan sektor keuangan tersebut. Sektor keuangan merupakan
sentrum dalam sebuah sistem perekonomian, sehingga kegagalan dalam mengelola
sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem perekonomian.[2]
Regulasi dan pengawasan sektor keuangan juga menempati posisi penting dalam
rangka mengantisipasi potensi pelanggaran yang mungkin saja dilakukan oleh
lembaga keuangan. Perkembangan kompetisi di sektor keuangan tak dapat
dipungkiri akan memicu institusi individu untuk terus melakukan inovasi produk.
Namun demikian, inovasi yang dilakukan seringkali berpotensi melanggar
ketentuan yang berlaku karena desakan kompetisi yang begitu ketat.
Dengan
demikian, sasaran pokok dari regulasi dan supervisi adalah untuk mendorong
keamanan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan melalui evaluasi dan pemantauan
yang berkesinambungan, termasuk penilaian terhadap manajemen risiko, kondisi
keuangan dan kepatuhan terhadap undang-undang dan regulasi. Regulasi dan
supervisi yang efektif merupakan
jaring pengaman pertama yang bertujuan untuk menciptakan dan memelihara sistem
keuangan, khususnya perbankan yang sehat. Lemahnya pengawasan
kerap dituduh sebagai salah satu penyebab kelemahan sistem keuangan.[3] Pada
saat yang sama, informasi asimetrik seringkali mendorong timbulnya masalah adverse
selection dan moral hazard yang berdampak terhadap sistem keuangan
dan karenanya perlu dilakukan pengawasan prudensial.[4]
Dalam konteks ini, fungsi pengawasan sektor keuangan
secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga matriks, yaitu:[5]
1.
Macroprudential Supervision; bertujuan
membatasi krisis keuangan yang dapat menghancurkan ekonomi secara riil—berfokus
pada konsekuensi atas tindakan institusi sistematis terhadap pasar
keuangan—antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas publik dan
industri keuangan apabila terdapat potensi ketidakseimbangan di sejumlah
institusi keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan
institusi keuangan terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.
2. Microprudential
Supervision; bertujuan
untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Regulator
menetapkan peraturan yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan melakukan
pengawasan melalui dua pendekatan, yaitu analisis laporan bank (off-site
analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit) untuk menilai
kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan
yang berlaku.
3. Conduct of
Business Supervision; menekankan pada keselamatan konsumen sebagai klien atas
kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi.
Sementara
fungsi-fungsi dasar yang dimiliki lembaga pengatur dan pengawas meliputi: (a) prudential
regulation bagi keamanan dan kesehatan lembaga keuangan; (b) stabilitas dan
integritas sistem pembayaran; (c) prudential supervision lembaga
keuangan; (d) pengelolaan regulasi bisnis—seperti peraturan mengenai bagaimana
perusahaan mengelola bisnis dengan pelanggannya; (e) pengelolaan pengawasan
bisnis; (f) penetapan jaring pengaman, seperti lembaga penjamin simpanan dan
peran lender of last resort yang dimiliki oleh bank sentral; (g) bantuan
likuiditas bagi stabilitas sistemik, seperti bantuan likuiditas bagi lembaga
tidak solven; (h) penanganan lembaga yang tidak solven; (i) resolusi krisis;
dan (j) isu-isu terkait dengan integritas pasar.[6]
Menurut
Nasution, lembaga yang berwenang dalam melakukan fungsi pengawasan dan
pengaturan sektor keuangan, moneter, dan fiskal harus mampu memformulasikan dan
menerapkan kebijakan yang konsisten, integrated, forward looking,
dan cost effective, dapat mempertahankan kompetisi yang sehat dan dapat
mendukung inovasi sektor keuangan.[7]
Sementara Llewellyn menandaskan bahwa lembaga pengawasan harus memiliki
ketahanan dalam menghadapi masa krisis, memiliki tingkat efisiensi dan
efektivitas tinggi yang tercermin dalam biaya dan adanya kejelasan pembagian
tanggung jawab dan fungsi serta memiliki persepsi yang baik di mata publik.[8]
Latar Belakang dan Kerangka Konseptual
Pembentukan OJK
Latar belakang pembentukan
Otoritas Jasa Keuangan bermula dari munculnya ketidakpuasan dan kekecewaan
beberapa kalangan terhadap fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap
lembaga-lembaga keuangan di Indonesia. Secara umum, terdapat 3 (tiga) faktor
yang melatar belakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu:
perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia; permasalahan lintas
sektoral industri jasa keuangan; dan amanat UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia.[9]
Sektor keuangan di Indonesia,
baik lembaga keuangan bank dan non bank, telah mengalami perkembangan yang
begitu pesat. Perkembangan tersebut telah memicu peningkatan interkoneksi dan
transaksi antara satu lembaga keuangan dengan lainnya. Dalam situasi demikian,
pengawasan lembaga keuangan yang longgar atau terpisah cenderung menimbulkan
penyalahgunaan yang berakibat fatal terhadap kesehatan lembaga keuangan. Oleh
karena itu, pembentukan sistem pengawasan merupakan salah satu solusi yang
niscaya dalam rangka mengantisipasi permasalahan tersebut. Dalam konteks ini,
penyatuan lembaga pengawas dinilai dapat mengurangi penyalahgunaan yang ada
dari dualisme pengawasan. Lebih dari itu, melalui penyatuan lembaga pengawas,
maka aliran informasi menjadi lebih terpusat sehingga pemantauan lembaga
keuangan yang menyeluruh dapat direalisasikan. Pada saat yang sama, meluapnya
permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral
hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan
terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya
pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
Melihat dinamika dan
kompleksitas lembaga keuangan tersebut, pemerintah mulai menggulirkan wacana
untuk menyatukan pelaksanaan fungsi regulasi dan supervisi dalam satu lembaga
untuk memperkuat sektor keuangan. Rencana pembentukan lembaga pengawasan
semacam itu pada dasarnya telah lama dicanangkan pemerintah melalui UU Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Namun dalam UU ini, pemerintah belum
mengintrodusir terminologi “Otoritas Jasa Keuangan” (OJK). Dalam UU ini,
istilah yang digunakan adalah “Lembaga Pengawas Jasa Keuangan” (LPJK). Pasal 34
UU ini menyebutkan bahwa “(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.” Dalam
perjalanannya, UU Nomor 23 Tahun 1999 diamandemen menjadi UU Nomor 3 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Pasal 34 ayat (2) UU ini menyebutkan bahwa “Pembentukan lembaga pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31
Desember 2010.” Sejak perubahan inilah terminologi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
mulai bergulir menjadi wacana publik.
Pasal 34 Undang-Undang No. 3
Tahun 2004 tentang Bank Indonesia pada dasarnya merupakan respon atas krisis
Asia yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang berdampak besar terhadap
perekonomian Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun
1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank-bank yang
mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia
terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung
diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang
lebih tangguh. Reformasi di bidang hukum perbankan diharapkan menjadi obat
pemulih krisis dan sekaligus menjadi penangkal untuk mengantisipasi
pemasalahan-permasalahan di masa depan.
Maka terbentuklah ide awal
pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan yang sebenarnya merupakan hasil
kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank
Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada awal pemerintahan Presiden
Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia
yang memberikan independensi kepada bank sentral. Rancangan Undang-Undang ini
di samping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan
perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank
sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank
Sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan Rancangan Undang-Undang
(RUU)—kemudian menjadi UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia—bertindak
sebagai konsultan. Ketika RUU tersebut diajukan, muncul penolakan dari kalangan
DPR dan Bank Indonesia. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang
akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas
mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat
bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank
sentral. Dengan demikian, Lembaga Pengawas Jasa Keuangan atau Otoritas Jasa
Keuangan nantinya akan mengawasi seluruh industri jasa keuangan yang ada di
Indonesia.[10]
Rencana pembentukan OJK
tersebut kemudian bergulir menjadi diskursus publik yang cukup ramai
diperbincangkan oleh pelbagai kalangan. Salah satu perdebatan yang muncul
adalah sejauh mana lingkup fungsi yang diamanatkan kepada OJK. Selama ini,
fungsi regulasi pengawasan sektor keuangan di Indonesia telah dilaksanakan oleh
beberapa lembaga. Regulasi dan pengawasan sektor perbankan dilaksanakan oleh
Bank Indonesia, sedangkan regulasi dan pengawasan pasar modal, lembaga
asuransi, dan lembaga pembiayaan dilaksanakan oleh Bapepam-LK. Sesuai rencana,
OJK akan mengambil alih fungsi regulasi dan pengawasan seluruh sektor keuangan
di Indonesia. Argumen yang menentang pembentukan OJK melalui mekanisme penyatuan
fungsi pengawasan BI dan Bapepam-LK adalah biaya transaksi yang tinggi. Biaya
transaksi tersebut meliputi biaya legalitas, sumberdaya manusia dan teknologi,
dan faktor eksternal. Sebagai contoh, penyatuan lembaga memerlukan peraturan
perundangan, standard operating procedure, dan rule of the game yang
baru. Peralihan sumberdaya manusia dan teknologi dari BI dan Bapepam-LK ke OJK
juga akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Hal yang perlu dikhawatirkan dari
proses penyatuan lembaga pengawas adalah kejutan eksternal. Pada saat lembaga
baru belum mapan (established) dan terjadi kejutan eksternal, sektor
keuangan akan mendapatkan dampak yang buruk.
Pilihan untuk menentukan model pengawasan
industri keuangan sejatinya memang banyak. Kendati demikian, setiap model pada
dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan menyisakan
celah untuk terjadi suatu penyimpangan. Oleh karena itu, tidak ada model
pengawasan industri keuangan di negara mana pun yang sempurna. Setidaknya,
terdapat 4 (empat) model pengawasan yang berlaku di berbagai negara, yaitu
pendekatan institusional (institutional approach), pendekatan
terintegrasi (integrated approach), twin peaks approach, dan
pendekatan fungsional (functional approach). Setiap negara yang menganut
pendekatan tertentu, tentunya juga telah menyesuaikan dengan karakteristik industri
keuangan di negaranya.
Model pengawasan sektor keuangan yang
berlaku di Indonesia selama ini pada dasarnya lebih condong pada pendekatan
institusional (institutional approach), di mana regulator yang mengawasi
suatu institusi didasarkan pada status badan hukum dari institusi yang diawasi
tersebut—bank diatur dan di awasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan
nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah
bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi
industrinya. Namun, model ini juga memiliki kekurangan, terutama ketika terjadi
suatu aktivitas yang saling bersinggungan. Bila koordinasi tidak terjalin
dengan baik, model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan
pelaku industri untuk melakukan moral hazard.
Di lain pihak, model pengaturan dan
pengawasan secara terintegrasi (integrated approach)—sebagaimana
diintrodusir OJK—memiliki kelebihan terutama dalam merespons tren industri
keuangan yang semakin terintegrasi. Saat ini, misalnya, fenomena universal
banking atau bank yang bisa melayani segala jenis pelayangan keuangan sudah
menjadi panorama umum. Dengan adanya OJK sebagai “super-regulatory body”,
diharapakan masalah perizinan, pengaturan, pengawasan, dan exit policy
akan lebih mudah, karena berada di satu atap. Di samping itu, OJK sebagai “super-regulatory
body” juga memungkinkan pemanfaatan economies of scale dan economies
of scope, sehingga pengawasannya menjadi lebih mendalam. Namun demikian,
OJK sebagai “super-regulatory body” juga mengidap kelemahan. Dengan
lingkup kerja yang begitu luas—pengaturan dan pengawasan—dan cakupan industri
yang begitu banyak, maka efektivitas OJK menjadi pertaruhan yang tak dapat
diabaikan jika tidak didukung dengan sistem dan SDM yang andal.[11]
Secara umum, terdapat beberapa
kelebihan dan kekurangan OJK dalam konteks ini. Beberapa kelebihannya antara
lain: (1)sistem ini mempunyai koordinasi untuk antisipasi krisis global; (2)
adanya perlindungan nasabah atau konsumen yang telah diatur secara eksplisit;
dan (3) adanya koordinasi antara OJK, otoritas moneter, pemerintah dan
LPS—sebagaimana diatur dalam UU OJK. Sementara kekurangan OJK antara lain: (1)
adanya pemisahan microprudential yang dipegang OJK dan macroprudential
lender of the last di sektor perbankan yang dipegang oleh Bank Indonesia
(BI); (2) pembiayaan OJK yang berdasarkan iuran pelaku jasa keuangan cenderung
membebani konsumen atau nasabah serta menurunkan efektivitas OJK dalam
pengawasan; dan (3) meskipun lingkup kerja OJK cukup luas, yakni mencakup bank,
bank perkreditan rakyat (BPR), dan lembaga keuangan non-bank (LKNB), namun OJK
tidak mencakup koperasi simpan pinjam, lembaga keuangan, mikro dan BMPT.[12]
Kendati demikian, terlepas dari
persoalan-persoalan di atas, pemerintah dan DPR telah memilih sistem OJK
sebagai model pengaturan dan pengawasan sektor keuangan di Indonesia. Oleh
karena itu, perdebatan konseptual seputar keberadaan OJK malah cenderung akan
menciptakan suasana yang kontraproduktif. Hal yang terpenting saat ini adalah
bagaimana agar OJK bisa bekerja dan menjalankan fungsinya dengan baik dan
mengupayakan agar OJK mampu membangun kepercayaan publik dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya secara baik. Hal ini mengandaikan bahwa OJK harus
memiliki SDM dan sistem yang dapat menopang perkembangan industri sektor
keuangan di Indonesia.
Menakar Efektifitas Pengawasan
OJK Terhadap Perbankan Syariah
Perkembangan perekonomian
global telah mendorong peningkatan fungsi perbankan. Sebagai lembaga keuangan,
perbankan memegang peranan yang sangat penting dalam suatu sistem keuangan
negara. Bank merupakan badan usaha yang berfungsi untuk menghimpun dana dari
masyarakat, baik dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kredit kepada
masyarakat. Melalui fungsi perbankan ini diharapkan dapat meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah
diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat sebagai
tujuan Negara Indonesia.
Dalam kenyataannya, struktur
sektor keuangan di Indonesia didominasi oleh sektor perbankan. Luasnya lingkup
sektor perbankan merupakan catatan khusus dalam pembentukan sistem pengawasan.
Selain biaya pengawasan yang besar, waktu yang dibutuhkan relatif lama untuk
sistem pengawasan dapat mapan dalam mengawasi bank, baik sumberdaya manusia
maupun teknologi. Sektor perbankan harus diawasi setiap saat karena perannya
yang sentral dalam sektor keuangan. Kegagalan yang terjadi pada satu bank dapat
berdampak buruk bagi sektor keuangan secara keseluruhan. Hal tersebut
diminimalisasi dengan pemantauan secara terus menerus oleh lembaga yang
berwenang.
Sistem pengawasan memerlukan akuntabilitas,
responsibiltas, objektivitas, kompetensi, transparansi dan independensi serta
kualitas integritas pengawasan yang kuat dan kepercayaan masyarakat. Jika
variabel-variabel ini tidak dimiliki oleh sistem pengawasan, maka dapat
dipastikan efektivitas pengawasan akan terancam. Kasus krisis perbankan
pada tahun 1997/1998 yang menelan uang rakyat lebih Rp. 800 trilyun, kasus BLBI (Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia), Skandal Bank Bali, Bank Century, Bank
Global dan beberapa contoh lainnya merupakan beberapa bukti dari kegagalan Bank
Indonesia (BI) dalam mengawasi sektor lembaga keuangan bank di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, bahwa Otoritas
Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di
dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan
masyarakat[13]—tujuan
pembentukan OJK ini juga disebutkan secara spesifik dalam Pasal 4 UU No. 21
Tahun 2011 dengan redaksi yang sama.[14]
Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa
keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional.
Bentuk OJK itu sendiri
dijelaskan dalam Pasal 1 Ketentuan Umum butir Nomor 1 UU No. 21 Tahun 2011,
yang menyatakan bahwa “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK,
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”[15]
Sedangkan fungsi OJK disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011, “OJK
berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.”[16]
Ruang lingkup tugas pengaturan dan pengawasan tersebut dijelaskan dalam Pasal 6
UU No. 21 Tahun 2011, “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”[17]
Dengan demikian, melalui pembentukan OJK,
pengaturan dan pengawasan bank akan dilakukan oleh suatu lembaga baru,
independen, akuntable, memiliki integritas dan bersih dari berbagai kepentingan
dan budaya negatif yang selama ini kerap dipamerkan oleh Bank Indonesia.
Industri perbankan adalah industri vital yang harus dijaga kelancaran dan
sistemnya agar proses transaksi ekonomi serta pembangunan nasional bisa
berjalan dengan baik. Melalui pengawasan OJK, diharapkan budaya budaya feodal
yang berjalan selama ini dapat dikebumikan dan dibangun suatu sistem pengawasan
perbankan yang bisa melindungi industri perbankan, sistem pembayaran dan
menjamin keamanan nasabah.[18]
Sebagaimana telah dimaklum, industri perbankan syariah nasional
memperlihatkan pertumbuhan yang semakin pesat beberapa waktu belakangan ini.
Oleh karena itu, pengawasan terhadap perbankan syariah yang lebih komprehensif
dan efektif diperlukan seiring dengan bertambahnya pelaku pasar, varian
produk/jasa layanan, serta kemajuan teknologi yang semakin inovatif dan
kompleks. Hal ini demi terwujudnya sistem perbankan syariah yang sehat guna
mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan perekonomia
nasional secara umum. Dengan demikian, dalam rangka penguatan dan ketahanan dan
kesinambungan bisnis industri perbankan syariah, penerapan metode pengawasan
secara efektif diharapkan mampu mendeteksi sedini mungkin risiko-risiko yang
dihadapi perbankan syariah.
Namun masa depan pertumbuhan industri perbankan syariah nasional
sempat diinterupsi oleh kekhawatiran dan kegelisahan beberapa kalangan ketika
pengaturan dan pengawasan perbankan beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas
Jasa Keuangan. Menurut
Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia,
KH. Ma’ruf Amin, UU OJK masih tidak bunyi atau silent terhadap jasa keuangan berbasis syariah.
Pasalnya, dalam UU OJK ini, kata syariah hanya terdapat satu kali saja, yaitu
pada Pasal 1 Ketentuan Umum butir Nomor 5.[19]
Pasal tersebut menyebutkan, “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai
perbankan syariah.”
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Halim Alamsyah, UU OJK
Nomor 21 Tahun 2011 memang tidak menjelaskan secara eksplisit
mengenai cetak biru pengembangan industri perbankan syariah. Hal ini berbeda
dengan Bank Indonesia yang telah memiliki Direktorat Perbankan Syariah. Oleh
karena itu, muncul asumsi bahwa pertumbuhan perbankan syariah mungkin saja
dapat terhambat, karena dalam struktur organisasi OJK memang tidak secara tegas
menyebutkan bentuk pengembangan, pengaturan, pengawasan dan penelitian mengenai
jasa keuangan syariah.[20]
Sementara
itu, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Riawan Amin, lebih
mengkhawatirkan perihal susunan keanggotaan Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan (DK-OJK) yang sedang menunggu pengesahan dari DPR. Amin menilai
susunan keanggotaan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) tidak
memiliki spirit keberpihakan terhadap industri perbankan syariah. Hal ini
diyakini akan mengurangi efektivitas pembentukan OJK dalam mengawasi perbankan
dan lembaga keuangan secara nasional.[21] Dengan
nada yang sama, Direktur Utama PT Bank Syariah Mandiri (BSM), Yuslam Fauzi
menyatakan bahwa susunan anggota DK-OJK belum menunjukkan spirit keberpihakan OJK
terhadap industri perbankan syariah. Yuslam menilai, keanggotaan OJK belum
merepresentasikan keterlibatan bank syariah sebagai lembaga keuangan.[22]
Di lain
pihak, Direktur
Utama Bank Mega Syariah, Beny Witjaksono, menilai kehadiran OJK tidak akan
menorehkan pengaruh yang terlalu signifikan terhadap perbankan syariah.
Baginya, hal yang harus diperhatikan adalah bahwa selama
ini regulasi telah disusun baik, tapi pelaksanaannya belum maksimal. Beny
menandaskan bahwa untuk memelihara efektifitas OJK dalam pengawasan perbankan
syariah, OJK diharapkan tetap mempertahankan sistem dan mekanisme yang sekarang
telah berjalan dengan baik, termasuk hubungan antara lembaga regulator dengan
lembaga fatwa, yang dalam hal ini adalah Dewan Syariah Nasional–MUI.[23]
Senada dengan Beny, Sofyan Syafri Harahap, pengamat
ekonomi syariah, menandaskan bahwa lembaga keuangan syariah seperti bank
tampaknya tak terlalu berpengaruh oleh perubahan otoritas pengawasan baru OJK. Pasalnya, lembaga keuangan
syariah berada pada posisi manejemen risiko yang lebih baik dari lembaga
konvensional yang penuh produk derivatif dan tindakan spekulatif.
Menurutnya, hal yang dapat dilakukan lembaga keuangan syariah saat ini adalah
tetap mengikuti aturan perinsip keuangan sesuai syariah dan bertindak
profesional.[24]
Pelbagai pandangan di atas bagaimanapun perlu menjadi pertimbangan
segenap pihak yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi
OJK, khususnya dalam kaitannya dengan perbankan syariah. Terlepas dari apapun bentuk
OJK yang nantinya akan digunakan, satu hal mendasar yang akan berperan besar
dalam hal pengawasan lembaga keuangan adalah adanya koordinasi antar lembaga
terkait. Koordinasi akan semakin penting ketika menyangkut prosedur antisipasi
dan penanggulangan terhadap bahaya krisis ekonomi. Meski idealnya koordinasi
dan kerjasama selalu mewarnai hubungan antar lembaga pemerintah, namun tidak
dipungkiri bahwa di dunia nyata terjadi rivalitas antar lembaga pemerintah
tersebut. Rivalitas ini seringkali disebabkan oleh egosentris institusi yang
bersumber pada penentuan tugas pokok fungsi (TUPOKSI) lembaga pemerintah.
Tupoksi sebuah institusi akan menjadi dasar bagi penentuan tugas, tanggung
jawab dan wewenang dari masing-masing aparat yang bekerja di institusi
tersebut. Tugas, tanggung jawab dan wewenang aparat ini pada akhirnya akan
membentuk outcome measures yang akan digunakan untuk mengevaluasi
kinerja aparat tersebut. Permasalahan koordinasi semakin kompleks ketika
TUPOKSI seringkali tidak mensyaratkan pelaksanaan koordinasi dengan lembaga
lain atau dengan kata lain bahwa koordinasi dengan lembaga lain tidak dianggap
sebagai kinerja sebuah lembaga maupun aparat yang bekerja di dalamnya.
Implikasinya para aparat hanya fokus pada tugas mereka pribadi tanpa
mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar yang hanya akan bisa diraih jika
terjadi koordinasi antar lembaga pemerintah.
Dalam konteks ini, efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankan
syariah sangat bergantung pada koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga
yang terkait dengan perbankan syariah. Sebagaimana diketahui, terdapat
perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, yaitu bank
syariah dalam operasional kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah,
sementara bank konvensional berdasarkan prinsip bunga. Perbedaan ini
mengakibatkan perbedaan yang mendasar dalam struktur corporate governance
dan sistem pengawasan dalam kegiatan syariah. Pengawasan perbankan syariah pada
dasarnya memiliki dua sistem, yaitu: (1) pengawasan dari aspek keuangan,
kepatuhan pada perbankan secara umum dan prinsip kehati-hatian bank; dan (2)
pengawasan prinsip syariah dalam kegiatan operasional bank.[25]
Oleh karena itu, struktur kepengawasan dalam perbankan syariah
terdiri dari dua sistem berikut: (1) sistem pengawasan internal, yang terdiri
atas unsur-unsur Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, Dewan
Audit, Dewan Pengawas Syariah (DPS), Direktur Kepatuhan, dan SKAI-Internal
Syariah Review. Sistem pengawasan internal ini lebih mengatur ke dalam dan
dilakukan agar terdapat mekanisme dan sistem kontrol untuk kepentingan
manajemen; dan (2) sistem pengawasan eksternal, yang terdiri atas unsur Bank
Indonesia (BI), Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan
Stakeholder. Sistem pengawasan eksternal ini pada dasarnya diorientasikan untuk
memenuhi kepentingan nasabah dan publik secara umum.
Pasca diberlakukannya UU Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sistem pengawasan eksternal
yang sebelumnya ditangani oleh BI secara otomatis akan digantikan oleh
OJK—tentunya setelah struktur organisasi dan keanggotaan DK-OJK terbentuk
nanti. Oleh karena itu, dalam rangka menjamin pemenuhan prinsip syariah dalam
operasional perbankan syariah, OJK diharapkan dapat berkoordinasi dengan DSN
dan DPS. Dewan Syariah
Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
diharapkan dapat membantu pihak-pihak terkait seperti Departemen keuangan, Bank
Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan atau ketentuan untuk lembaga
keuangan syariah. Tugas dan kewenangan DSN antara lain: menumbuhkembangkan
penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan
keuangan pada khususnya; mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan;
mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah; dan mengawasi
penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.[26] Sementara DPS merupakan lembaga di bawah DSN yang bertugas
mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. DPS merupakan suatu badan yang didirikan dan ditempatkan pada bank
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah untuk memastikan
bahwa operasional bank syariah tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah.[27]
Dengan demikian, peranan DSN
dan DPS begitu penting dalam pengawasan perbankan syariah. DPS memastikan
kegiatan operasional, produk dan jasa bank syariah senantiasa sesuai dengan
prinsip syariah. Sedangkan DSN merupakan lembaga yang memberikan rekomendasi
anggota DPS yang memiliki keahlian dan kompetensi syariah yang memadai dan menerbitkan
fatwa produk dan jasa bank syariah yang bersifat nasional sehingga dapat
dijadikan pedoman yang seragam bagi DPS. Dengan kata lain, DSN dan DPS
merupakan lembaga yang mengarahkan bank syariah untuk menerapkan
prinsip-prinsip syariah dalam kegiatannya. Oleh karena itu, DSN dapat
memberikan teguran jika ada lembaga ekonomi tertentu yang menyimpang dari hukum
yang telah ditetapkan. Jika lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkan
teguran yang diberikan, maka DSN dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga
yang memiliki otoritas untuk memberikan sanksi hukum.[28]
Sesuai dengan amanat UU Nomor 21
Tahun 2011, otoritas dimaksud adalah OJK. Oleh karena itu, komunikasi dan
koordinasi antara OJK dengan DSN menjadi suatu keniscayaan yang harus dipenuhi.
Demikian pula, terkait dengan keanggotaan DPS yang sebelumnya ditetapkan oleh
BI berdasarkan rekomendasi dari DSN, maka ke depan penetapan itu akan dilakukan
oleh OJK.
Salah
satu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan DSN
tersebut adalah dengan cara mengadakan unit atau direktorat perbankan syariah
dalam struktur organisasi OJK. Modelnya mungkin saja mirip dengan Direktorat
Perbankan Syariah yang berada di bawah naungan Bank Indonesia. Sebab, tanpa adanya struktur yang
jelas yang menjalankan fungsi pengawasan terdapat aspek lembaga keuangan
syariah sangat sulit untuk mengharapkan efektifitas pengawasan OJK terhadap
lembaga perbankan syariah.
Sebagaimana disinggung di
atas, problem lain yang cukup krusial dalam kaitannya dengan efektifitas
pengawasan OJK terhadap perbankan syariah adalah menyangkut SDM yang nantinya
masuk dalam keanggotaan DK-OJK. Idealnya, dalam susunan keanggotan DK-OJK
terdapat salah satu perwakilan yang benar-benar menguasai ekonomi syariah,
memahami kondisi industri keuangan dan perbankan syariah, dan memiliki
pengalaman di lapangan dalam bidang perbankan syariah. Poin yang perlu dicatat
dalam konteks ini adalah bahwa kompleksitas sistem pengawasan dalam hal SDM
tidak hanya terletak pada kebutuhannya yang besar, namun juga pengembangan tacit
knowledge yang dimiliki oleh setiap pengawas. Sehubungan dengan hal ini,
ada beberapa poin yang harus diperhatikan: (1) seorang pengawas harus mengerti
misi yang diemban oleh lembaga pengawas tempatnya bernaung (know the mission);
(2)seorang pengawas harus mengerti perusahaan yang diawasinya (know the
entity). Seorang pengawas wajib mengerti seluk beluk pengawasan sampai ke
jenjang perusahaan. Argumennya, setiap perusahaan memiliki sistem inti (core
system) yang unik yaitu berbeda antara satu dengan lainnya; (3)seorang
pengawas harus mengerti teknik pengawasan dan bagaimana untuk melakukannya (know
supervision technique and how to do it); dan (4) seorang pengawas harus
membangun karakter yang kuat (character building). Berdasarkan poin-poin tersebut—terutama poin ke
2—pembentukan keanggotaan DK-OJK sepatutnya mempertimbangkan SDM yang memiliki
komitmen dan pemahaman mengenai keuangan dan perbankan syariah, sehingga
diharapkan OJK memiliki skema dan prosedur dalam pengembangan perbankan syariah.
Penutup
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor
jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel,
serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan
stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, termasuk lembaga keuangan
perbankan. Alhasil, keberadaan OJK secara otomatis akan sangat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di masa-masa mendatang.
Dengan demikian, efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankan
syariah sangat bergantung pada koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga
yang terkait dengan perbankan syariah, seperti DSN-MUI dan DPS.Salah
satu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan DSN
tersebut adalah dengan cara mengadakan unit atau direktorat perbankan syariah
dalam struktur organisasi OJK. Di samping itu, pembentukan keanggotaan DK-OJK sepatutnya mempertimbangkan
SDM yang memiliki komitmen dan pemahaman mengenai keuangan dan perbankan
syariah, sehingga diharapkan OJK memiliki skema dan prosedur dalam
pengembangan perbankan syariah.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio, Syafi’i, Bank Syariah: Dari Teori
ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Batunanggar, Sukarela, “Jaring Pengaman
Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia”, dalam Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4, Nomor 3, Desember 2006.
Haqqi, Abdurrahman Raden Aji, “Shariah Advisory
Board in Islamic Financial Institution in the Eye of Asian Islamic Banks Law: A
Must?”, Makalah Disampaikan pada ASLI Comprence, Jakarta: Fakultas Hukum UI,
2007.
Harahap, Sofyan Syafri, “Pengawasan Bank: Selamat
Datang OJK”, dalam http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-selamat-datang-ojk.html, diakses pada 10
April 2012.
Hidayati,
Maslihati Nur, “Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi
tentang Pengawasan Bank Berlandaskan pada Prinsip-prinsip Islam”, dalam Lex
Jurnalica, Vol. 6, No. 1, Desember 2008.
Himpunan Fatwa DSN, Edisi
Kedua, diterbitkan atas kerjasama DSN-MUI dengan Bank Indonesia.
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1797280/dpr-ojk-harus-perhatikan-perbankan-syariah, diakses pada 10
April 2012.
http://shariahbank.blogspot.com/2012/03/dpr-isyaratkan-orang-syariah-masuk.html, diakses pada 10
April 2012.
http://www.antaranews.com/berita/302912/mendorong-potensi-perbankan-syariah, diakses pada 10
April 2012.
http://www.bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2384:membongkar-kelebihan-dan-kekurangan-ojk&catid=47:terbaru&Itemid=181, diakses pada 10
April 2012.
http://www.infobanknews.com/2012/02/mui-ojk-belum-berpihak-kepada-perbankan-syariah/, diakses pada 10
April 2012.
http://www.infobanknews.com/2012/03/bni-syariah-berharap-ojk-akomodir-perbankan-syariah/, diakses pada 10
April 2012.
http://www.ipotnews.com/index.php?jdl=Dirut_BSM__OJK_Mesti_Miliki_Direktorat_Perbankan_Syariah&level2=&level3=&level4=&id=1162573&urlImage=, diakses pada 10
April 2012.
http://www.ipotnews.com/index.php?jdl=Spirit_Kepemimpinan_OJK_Tak_Berpihak_Pada_Perbankan_Syariah&level2=&level3=&level4=&id=1161845&urlImage=, diakses pada 10
April 2012.
http://www.islamedia.web.id/2012/03/otoritas-jasa-keuangan-harus-berikan.html, diakses pada 10
April 2012.
Juoro, Umar, “Perkembangan
Perbankan Islam Setelah Krisis Ekonomi di Indonesia”, dalam Greg Fealy dan
Sally White, Ustadz Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi
Islam Indonesia Kontemporer, (terj.) Ahmad Muhajir, Depok: Komunitas Bambu,
2012.
Levine, R., “Financial Development and Economic
Growth: Views and Agenda,” dalam Journal of Economic Literature, Vol.
35, 1997.
Llewellyn,
D. T, 2006, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision:
The Basic Issues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning
Supervisory Structures with Country Needs”, Washington DC, 6 dan 7 Juni
2006.
Mayes, David G., Liisa, Halme dan Aarno,
Liuksila, Improving Banking Supervision, Palgrave, 2001.
Mishkin, Frederick, “Financial Policies and the
Prevention of Financial Crises in Emerging Market Countries”, NBER Working
Paper No. 8087, January 2001.
Naskah Akademik Pembentukan
Otoritas Jasa Keuangan.
Nasution,
A., “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda kedepan”,
Makalah disampaikan dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Pandangan Fraksi-fraksi dalam
Rapat Pembahasan RUU tentang OJK.
Rifai, Moh., Konsep Perbankan Syariah,
Semarang: CV Wicaksana, 2002.
Sitompul, Zulkarnain,
“Menyambut Khadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, Pilars, No. 02/Th.
VII/12-18 Januari 2004.
Stiglitz, J., “The Role of the State in
Financial Markets”, Prosiding dalam World Bank Annual Conference on
Development Economics Supplement, 1993, 19-61.
Sunandar, Heri, “Peran dan
Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’a Supervisory Board) dalam
Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam Hukum Islam, Vol. IV, No. 2,
Desember 2005.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
No.32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/Kep/Dir
tanggal 12 Mei 1999.
Susanto, Burhanuddin, Hukum Perbankan
Syari’ah Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2008.
Tim
Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, Alternatif Struktur OJK Yang
Optimum: Kajian Akademik, 23 Agustus 2010, dalam http://xa.yimg.com/kq/groups/24063110/2095520493/name/KajiAkademikOJK-UI-UGMversi+230810.pdf,
diakses pada 10 April 2012.
Watni, Syaiful, Suradji, dan Sutriya, Analisis
dan Evaluasi Hukum tentang Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional, 2003.
[1] Lihat R. Levine, “Financial
Development and Economic Growth: Views and Agenda,” dalam Journal of
Economic Literature, Vol. 35, 1997, h. 688-726.
[2] Lihat Stiglitz, J., “The
Role of the State in Financial Markets”, Prosiding dalam World Bank
Annual Conference on Development Economics Supplement, 1993, h. 19-61.
[3] Lihat David G. Mayes, Halme
Liisa dan Liuksila Aarno, Improving Banking Supervision, (Palgrave,
2001), dalam Sukarela Batunanggar, “Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur
dan Praktiknya di Indonesia”, dalam Buletin Hukum Perbankan dan
Kebanksentralan, Volume 4, Nomor 3, Desember 2006, h. 2.
[4] Lihat Frederick Mishkin,
“Financial Policies and the Prevention of Financial Crises in Emerging Market
Countries”, NBER Working Paper No. 8087, January 2001, dalam Sukarela
Batunanggar, “Jaring Pengaman Keuangan”, h. 2.
[5] Tim
Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, Alternatif Struktur OJK Yang
Optimum: Kajian Akademik, 23 Agustus 2010, h. 23-24, dalam http://xa.yimg.com/kq/groups/24063110/2095520493/name/KajiAkademikOJK-UI-UGMversi+230810.pdf,
diakses pada 10 April 2012.
[6] Lihat D. T.
Llewellyn, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision:
The Basic Issues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning
Supervisory Structures with Country Needs”, Washington DC, 6 dan 7 Juni
2006.
[7] Lihat A.
Nasution, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda ke
Depan”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Rl, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
[8] Lihat D. T.
Llewellyn, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision:
The Basic Issues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning
Supervisory Structures with Country Needs” Washington DC, 6 dan 7 Juni
2006.
[9] Lihat Penjelasan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867).
[10] Lihat Naskah Akademik Pembentukan
Otoritas Jasa Keuangan; Pandangan Fraksi-fraksi Dalam Rapat Pembahasan RUU
tentang OJK; dan Zulkarnain Sitompul, “Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa
Keuangan (OJK)”, Pilars, No. 02/Th. VII/12-18 Januari 2004.
[11] Sunarsip, “Mewujudkan Otoritas Jasa
Keuangan yang Efektif”, dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/470989/,
diakses pada 10 April 2012.
[12] Lihat “Membongkar Kelebihan dan Kekurangan
OJK”, dalam http://www.bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2384:membongkar-kelebihan-dan-kekurangan-ojk&catid=47:terbaru&Itemid=181,
diakses pada 10 April 2012.
[13] Lihat Penjelasan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867).
[14] Lihat Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4867).
[15] Lihat Pasal 1 Ketentuan Umum
butir Nomor 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
[16] Lihat Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867).
[17] Lihat Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867).
[18] Sofyan Syafri Harahap,
“Pengawasan Bank: Selamat Datang OJK”, dalam http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-selamat-datang-ojk.html,
diakses pada 10 April 2012.
[19] Lihat “MUI: OJK Belum
Berpihak Kepada Perbankan Syariah”, http://www.infobanknews.com/2012/02/mui-ojk-belum-berpihak-kepada-perbankan-syariah/,
diakses pada 10 April 2012.
[20] Lihat “Mendorong Potensi
Perbankan Syariah”, http://www.antaranews.com/berita/302912/mendorong-potensi-perbankan-syariah,
diakses pada 10 April 2012; dan “Otoritas
Jasa Keuangan Harus Berikan Perhatian Pada Bank Syariah”, http://www.islamedia.web.id/2012/03/otoritas-jasa-keuangan-harus-berikan.html,
diakses pada 10 April 2012.
[21] Lihat
“Spirit Kepemimpinan OJK Tak Berpihak Pada Perbankan Syariah”, http://www.ipotnews.com/index.php?jdl=Spirit_Kepemimpinan_OJK_Tak_Berpihak_Pada_Perbankan_Syariah&level2=&level3=&level4=&id=1161845&urlImage,
diakses pada 10
April 2012; dan “Otoritas
Jasa Keuangan Harus Berikan Perhatian Pada Bank Syariah”, http://www.islamedia.web.id/2012/03/otoritas-jasa-keuangan-harus-berikan.html,
diakses pada 10 April 2012.
[22] Lihat
“Dirut BSM: OJK Mesti Miliki Direktorat Perbankan Syariah”, http://www.ipotnews.com/index.php?jdl=Dirut_BSM__OJK_Mesti_Miliki_Direktorat_Perbankan_Syariah&level2=&level3=&level4=&id=1162573&urlImage=,
diakses pada 10 April 2012.
[23] Lihat
“Syariah
Tak Banyak Terimbas OJK”, http://www.muamalatbank.com/index.php/home/news/muamalat_news/792,
diakses pada 10 April 2012.
[24] Lihat
“Syariah
Tak Banyak Terimbas OJK”, http://www.muamalatbank.com/index.php/home/news/muamalat_news/792,
diakses pada 10 April 2012.
[25] Maslihati
Nur Hidayati, “Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi
tentang Pengawasan Bank Berlandaskan pada Prinsip-prinsip Islam”, dalam Lex
Jurnalica, Vol. 6, No. 1, Desember 2008, h. 68.
[26] Lihat Himpunan Fatwa DSN,
Edisi Kedua, diterbitkan atas kerjasama DSN-MUI dengan Bank Indonesia, h.
281-284; dan Abdurrahman Raden Aji Haqqi, “Shariah Advisory Board in Islamic
Financial Institution in the Eye of Asian Islamic Banks Law: A Must?”, Makalah
Disampaikan pada ASLI Comprence, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2007.
[27] Ketentuan Pasal 20 ayat (2)
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 dan
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999.
Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia ini, Dewan Pengawas Syari’ah
(DPS) dalam menjalankan fungsinya sebagai bagian utuh dalam managemen bank
berdasarkan prinsip syariah wajib mengikuti fatwa DSN.
[28] Lihat Heri Sunandar, “Peran
dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’a Supervisory Board) dalam
Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam Hukum Islam, Vol. IV, No. 2,
Desember 2005, h. 159-172; dan Umar Juoro, “Perkembangan Perbankan Islam
Setelah Krisis Ekonomi di Indonesia”, dalam Greg Fealy dan Sally White, Ustadz
Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia
Kontemporer, (terj.) Ahmad Muhajir, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), h. 233.
Untuk informasi lebih lanjut tentang posisi dan fungsi DSN dan DPS dalam
perbankan syariah, lihat pula Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke
Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005); Syaiful Watni, Suradji, dan
Sutriya, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Perbankan Syariah di Indonesia,
(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003); Moh. Rifai, Konsep
Perbankan Syariah, (Semarang: CV Wicaksana, 2002); dan Burhanuddin Susanto,
Hukum Perbankan Syariah Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2008).
--pic source: iaei-pusat.org
Nah gini dong buat artikelnya, niat banget hehe..
BalasHapusSetuju banget dengan adanya OJK (Otoritas Jasa Keuangan), fintech sekarang mempunyai peraturan yang lebih jelas. Singkatnya kita sebagai user atau pendana jadi lebih aman bertransaksi dan pakai layanan keuangan dari fintech.. keep up the good work untuk penulis. Sebagai bahan referensi tambahan seputar dunia fintech dan OJK boleh disimak ini :
> Prospek peer to peer lending
> Peer to peer lending yang aman
> Investasi yang aman dari inflasi
> Perbedaan peer to peer lending dengan payday loan
> Daftar investasi bodong
Semoga membantu untuk kemajuan literasi penulis juga ya!
Thanks!