Jumat, 07 Desember 2012

EFEKTIFITAS PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) TERHADAP LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH


Abstrak

Efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankan syariah sangat bergantung pada komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan perbankan syariah, seperti DSN dan DPS. Salah satu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan DSN dan DPS tersebut adalah dengan cara mengadakan unit atau direktorat perbankan syariah dalam struktur organisasi OJK. Selain itu, struktur keanggotaan DK-OJK yang akan disahkan oleh Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan SDM yang memiliki komitmen dan pemahaman mengenai keuangan dan perbankan syariah, sehingga OJK diharapkan memiliki skema dan prosedur dalam pengembangan perbankan syariah.
Kata kunci: efektifitas, regulasi, supervisi, koordinasi.




Pendahuluan                                                                                    
Lembaga keuangan di Indonesia secara umum dibagi menjadi dua, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Lembaga keuangan bank meliputi bank umum, bank syariah, dan BPR (umum dan syariah). Lembaga keuangan nonbank meliputi perasuransian, pasar modal, perusahaan pegadaian, dana pensiun, koperasi, dan lembaga penjaminan dan pembiayaan—perusahaan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga pembiayaan antara lain perusahaan sewa guna usaha (leasing), perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan modal ventura.
Regulasi dan supervisi terhadap lembaga keuangan bank dan nonbank selama ini ditangani oleh institusi yang berbeda. Lembaga keuangan bank diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia (BI), sedangkan lembaga keuangan nonbank seluruhnya diawasi oleh Bapepam-LK—sebuah lembaga yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan. Regulasi dan supervisi sektor perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia berdasarkan amanat UU Nomor 6 Tahun 2009. Sektor perbankan diatur dan diawasi oleh BI karena sektor tersebut memiliki pertautan erat dengan kebijakan moneter—mengawasi dan mengatur sektor perbankan merupakan salah satu tugas untuk mencapai kestabilan nilai tukar rupiah.
Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 22 November 2011, kebijakan politik hukum nasional mulai mengintrodusir paradigma baru dalam menerapkan model pengaturan dan pengawasan terhadap industri keuangan Indonesia. Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tersebut, pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan menjadi kewenangan OJK. Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011, OJK memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Melalui Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011 tersebut, Indonesia akan menerapkan model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi (integration approach), yang berarti akan meninggalkan model pengawasan secara institusional. Dengan diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2011 ini, maka seluruh fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih tersebar di BI dan Bapepam-LK akan menyatu ke dalam OJK.
Kendati demikian, kebijakan baru ini telah menyisakan keraguan dan kekhawatiran di benak beberapa kalangan dalam kaitannya dengan efektivitas OJK. Sebagaimana diketahui, salah satu alasan utama penggabungan otoritas regulasi dan supervisi yang diintrodusir OJK tersebut adalah dalam rangka mewujudkan efisiensi dan memicu perkembangan lembaga keuangan. Namun menurut beberapa kalangan, belum terdapat suatu bukti empiris mengenai keunggulan dari penggabungan otoritas pengaturan dan pengawasan tersebut terutama baik dari sisi mikro prudensial maupun dari sisi stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, salah satu tantangan serius yang harus diperhatikan adalah bagaimana membangun kepercayaan masyarakat bahwa OJK akan mampu menjalankan perannya secara baik.
Dalam konteks ini, penulis akan mencoba memotret kemungkinan efektifitas pengawasan OJK terhadap lembaga perbankan syariah. Sebagaimana diketahui, masa depan pertumbuhan industri perbankan syariah sempat melahirkan tanda tanya ketika pengawasan perbankan beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan pada 2013. Tanda tanya tersebut paling tidak dilatar belakangi oleh beberapa faktor. Pertama, UU OJK tidak secara eksplisit menjelaskan perihal cetak biru (blueprint) pengembangan industri perbankan syariah—hal ini berbeda dengan Bank Indonesia yang memiliki Direktorat Perbankan Syariah. Kedua, UU OJK terkesan diam (silent) terhadap jasa keuangan berbasis syariah, karena  dalam UU tersebut kata syariah hanya muncul satu kali saja, yaitu pada Pasal 1 Ketentuan Umum butir Nomor 5. Ketiga, susunan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) belum menunjukkan spirit keberpihakan terhadap industri perbankan syariah dan belum merepresentasikan keterlibatan bank syariah sebagai lembaga keuangan.

Signifikansi Lembaga Pengawasan Sektor Keuangan
Pertumbuhan perekonomian yang pesat tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sistem keuangan yang semakin canggih. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang semakin kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar-lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.
Sektor keuangan memainkan peranan krusial dalam sistem perekonomian melalui pertumbuhan ekonomi, akumulasi kapital, dan inovasi teknologi.[1] Fungsi intermediasi memungkinkan lembaga keuangan menggalang dana dari pihak yang memiliki kelebihan dana dan menyalurkannya ke pihak yang membutuhkan dana khususnya pada sektor riil. Sektor inilah yang menjaga keseimbangan antar sektor perekonomian dan memastikan roda perekonomian tetap berputar. Sistem keuangan memainkan peranan penting dalam perekonomian karena sistem keuangan berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus finansial kepada pihak yang mengalami defisit finansial. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Regulasi dan supervisi sektor keuangan yang kuat merupakan faktor yang sangat krusial dalam rangka mengimbangi perkembangan sektor keuangan tersebut. Sektor keuangan merupakan sentrum dalam sebuah sistem perekonomian, sehingga kegagalan dalam mengelola sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem perekonomian.[2] Regulasi dan pengawasan sektor keuangan juga menempati posisi penting dalam rangka mengantisipasi potensi pelanggaran yang mungkin saja dilakukan oleh lembaga keuangan. Perkembangan kompetisi di sektor keuangan tak dapat dipungkiri akan memicu institusi individu untuk terus melakukan inovasi produk. Namun demikian, inovasi yang dilakukan seringkali berpotensi melanggar ketentuan yang berlaku karena desakan kompetisi yang begitu ketat.
Dengan demikian, sasaran pokok dari regulasi dan supervisi adalah untuk mendorong keamanan dan kesehatan lembaga-lembaga keuangan melalui evaluasi dan pemantauan yang berkesinambungan, termasuk penilaian terhadap manajemen risiko, kondisi keuangan dan kepatuhan terhadap undang-undang dan regulasi. Regulasi dan supervisi yang efektif merupakan jaring pengaman pertama yang bertujuan untuk menciptakan dan memelihara sistem keuangan, khususnya perbankan yang sehat. Lemahnya pengawasan kerap dituduh sebagai salah satu penyebab kelemahan sistem keuangan.[3] Pada saat yang sama, informasi asimetrik seringkali mendorong timbulnya masalah adverse selection dan moral hazard yang berdampak terhadap sistem keuangan dan karenanya perlu dilakukan pengawasan prudensial.[4]
Dalam konteks ini, fungsi pengawasan sektor keuangan secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga matriks, yaitu:[5]
1.   Macroprudential Supervision; bertujuan membatasi krisis keuangan yang dapat menghancurkan ekonomi secara riil—berfokus pada konsekuensi atas tindakan institusi sistematis terhadap pasar keuangan—antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas publik dan industri keuangan apabila terdapat potensi ketidakseimbangan di sejumlah institusi keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.
2.   Microprudential Supervision; bertujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Regulator menetapkan peraturan yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua pendekatan, yaitu analisis laporan bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit) untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan yang berlaku.
3.   Conduct of Business Supervision; menekankan pada keselamatan konsumen sebagai klien atas kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi.
Sementara fungsi-fungsi dasar yang dimiliki lembaga pengatur dan pengawas meliputi: (a) prudential regulation bagi keamanan dan kesehatan lembaga keuangan; (b) stabilitas dan integritas sistem pembayaran; (c) prudential supervision lembaga keuangan; (d) pengelolaan regulasi bisnis—seperti peraturan mengenai bagaimana perusahaan mengelola bisnis dengan pelanggannya; (e) pengelolaan pengawasan bisnis; (f) penetapan jaring pengaman, seperti lembaga penjamin simpanan dan peran lender of last resort yang dimiliki oleh bank sentral; (g) bantuan likuiditas bagi stabilitas sistemik, seperti bantuan likuiditas bagi lembaga tidak solven; (h) penanganan lembaga yang tidak solven; (i) resolusi krisis; dan (j) isu-isu terkait dengan integritas pasar.[6]
Menurut Nasution, lembaga yang berwenang dalam melakukan fungsi pengawasan dan pengaturan sektor keuangan, moneter, dan fiskal harus mampu memformulasikan dan menerapkan kebijakan yang konsisten, integrated, forward looking, dan cost effective, dapat mempertahankan kompetisi yang sehat dan dapat mendukung inovasi sektor keuangan.[7] Sementara Llewellyn menandaskan bahwa lembaga pengawasan harus memiliki ketahanan dalam menghadapi masa krisis, memiliki tingkat efisiensi dan efektivitas tinggi yang tercermin dalam biaya dan adanya kejelasan pembagian tanggung jawab dan fungsi serta memiliki persepsi yang baik di mata publik.[8]



Latar Belakang dan Kerangka Konseptual Pembentukan OJK
Latar belakang pembentukan Otoritas Jasa Keuangan bermula dari munculnya ketidakpuasan dan kekecewaan beberapa kalangan terhadap fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap lembaga-lembaga keuangan di Indonesia. Secara umum, terdapat 3 (tiga) faktor yang melatar belakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu: perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia; permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan; dan amanat UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.[9]
Sektor keuangan di Indonesia, baik lembaga keuangan bank dan non bank, telah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Perkembangan tersebut telah memicu peningkatan interkoneksi dan transaksi antara satu lembaga keuangan dengan lainnya. Dalam situasi demikian, pengawasan lembaga keuangan yang longgar atau terpisah cenderung menimbulkan penyalahgunaan yang berakibat fatal terhadap kesehatan lembaga keuangan. Oleh karena itu, pembentukan sistem pengawasan merupakan salah satu solusi yang niscaya dalam rangka mengantisipasi permasalahan tersebut. Dalam konteks ini, penyatuan lembaga pengawas dinilai dapat mengurangi penyalahgunaan yang ada dari dualisme pengawasan. Lebih dari itu, melalui penyatuan lembaga pengawas, maka aliran informasi menjadi lebih terpusat sehingga pemantauan lembaga keuangan yang menyeluruh dapat direalisasikan. Pada saat yang sama, meluapnya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
Melihat dinamika dan kompleksitas lembaga keuangan tersebut, pemerintah mulai menggulirkan wacana untuk menyatukan pelaksanaan fungsi regulasi dan supervisi dalam satu lembaga untuk memperkuat sektor keuangan. Rencana pembentukan lembaga pengawasan semacam itu pada dasarnya telah lama dicanangkan pemerintah melalui UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Namun dalam UU ini, pemerintah belum mengintrodusir terminologi “Otoritas Jasa Keuangan” (OJK). Dalam UU ini, istilah yang digunakan adalah “Lembaga Pengawas Jasa Keuangan” (LPJK). Pasal 34 UU ini menyebutkan bahwa “(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.” Dalam perjalanannya, UU Nomor 23 Tahun 1999 diamandemen menjadi UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 34 ayat (2) UU ini menyebutkan bahwa “Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.” Sejak perubahan inilah terminologi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai bergulir menjadi wacana publik.
Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia pada dasarnya merupakan respon atas krisis Asia yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank-bank yang mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang lebih tangguh. Reformasi di bidang hukum perbankan diharapkan menjadi obat pemulih krisis dan sekaligus menjadi penangkal untuk mengantisipasi pemasalahan-permasalahan di masa depan.
Maka terbentuklah ide awal pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan yang sebenarnya merupakan hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Rancangan Undang-Undang ini di samping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU)—kemudian menjadi UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia—bertindak sebagai konsultan. Ketika RUU tersebut diajukan, muncul penolakan dari kalangan DPR dan Bank Indonesia. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral. Dengan demikian, Lembaga Pengawas Jasa Keuangan atau Otoritas Jasa Keuangan nantinya akan mengawasi seluruh industri jasa keuangan yang ada di Indonesia.[10]
Rencana pembentukan OJK tersebut kemudian bergulir menjadi diskursus publik yang cukup ramai diperbincangkan oleh pelbagai kalangan. Salah satu perdebatan yang muncul adalah sejauh mana lingkup fungsi yang diamanatkan kepada OJK. Selama ini, fungsi regulasi pengawasan sektor keuangan di Indonesia telah dilaksanakan oleh beberapa lembaga. Regulasi dan pengawasan sektor perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sedangkan regulasi dan pengawasan pasar modal, lembaga asuransi, dan lembaga pembiayaan dilaksanakan oleh Bapepam-LK. Sesuai rencana, OJK akan mengambil alih fungsi regulasi dan pengawasan seluruh sektor keuangan di Indonesia. Argumen yang menentang pembentukan OJK melalui mekanisme penyatuan fungsi pengawasan BI dan Bapepam-LK adalah biaya transaksi yang tinggi. Biaya transaksi tersebut meliputi biaya legalitas, sumberdaya manusia dan teknologi, dan faktor eksternal. Sebagai contoh, penyatuan lembaga memerlukan peraturan perundangan, standard operating procedure, dan rule of the game yang baru. Peralihan sumberdaya manusia dan teknologi dari BI dan Bapepam-LK ke OJK juga akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Hal yang perlu dikhawatirkan dari proses penyatuan lembaga pengawas adalah kejutan eksternal. Pada saat lembaga baru belum mapan (established) dan terjadi kejutan eksternal, sektor keuangan akan mendapatkan dampak yang buruk.
Pilihan untuk menentukan model pengawasan industri keuangan sejatinya memang banyak. Kendati demikian, setiap model pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan menyisakan celah untuk terjadi suatu penyimpangan. Oleh karena itu, tidak ada model pengawasan industri keuangan di negara mana pun yang sempurna. Setidaknya, terdapat 4 (empat) model pengawasan yang berlaku di berbagai negara, yaitu pendekatan institusional (institutional approach), pendekatan terintegrasi (integrated approach), twin peaks approach, dan pendekatan fungsional (functional approach). Setiap negara yang menganut pendekatan tertentu, tentunya juga telah menyesuaikan dengan karakteristik industri keuangan di negaranya.
Model pengawasan sektor keuangan yang berlaku di Indonesia selama ini pada dasarnya lebih condong pada pendekatan institusional (institutional approach), di mana regulator yang mengawasi suatu institusi didasarkan pada status badan hukum dari institusi yang diawasi tersebut—bank diatur dan di awasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model ini juga memiliki kekurangan, terutama ketika terjadi suatu aktivitas yang saling bersinggungan. Bila koordinasi tidak terjalin dengan baik, model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan pelaku industri untuk melakukan moral hazard.
Di lain pihak, model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi (integrated approach)—sebagaimana diintrodusir OJK—memiliki kelebihan terutama dalam merespons tren industri keuangan yang semakin terintegrasi. Saat ini, misalnya, fenomena universal banking atau bank yang bisa melayani segala jenis pelayangan keuangan sudah menjadi panorama umum. Dengan adanya OJK sebagai “super-regulatory body”, diharapakan masalah perizinan, pengaturan, pengawasan, dan exit policy akan lebih mudah, karena berada di satu atap. Di samping itu, OJK sebagai “super-regulatory body” juga memungkinkan pemanfaatan economies of scale dan economies of scope, sehingga pengawasannya menjadi lebih mendalam. Namun demikian, OJK sebagai “super-regulatory body” juga mengidap kelemahan. Dengan lingkup kerja yang begitu luas—pengaturan dan pengawasan—dan cakupan industri yang begitu banyak, maka efektivitas OJK menjadi pertaruhan yang tak dapat diabaikan jika tidak didukung dengan sistem dan SDM yang andal.[11]
Secara umum, terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan OJK dalam konteks ini. Beberapa kelebihannya antara lain: (1)sistem ini mempunyai koordinasi untuk antisipasi krisis global; (2) adanya perlindungan nasabah atau konsumen yang telah diatur secara eksplisit; dan (3) adanya koordinasi antara OJK, otoritas moneter, pemerintah dan LPS—sebagaimana diatur dalam UU OJK. Sementara kekurangan OJK antara lain: (1) adanya pemisahan microprudential yang dipegang OJK dan macroprudential lender of the last di sektor perbankan yang dipegang oleh Bank Indonesia (BI); (2) pembiayaan OJK yang berdasarkan iuran pelaku jasa keuangan cenderung membebani konsumen atau nasabah serta menurunkan efektivitas OJK dalam pengawasan; dan (3) meskipun lingkup kerja OJK cukup luas, yakni mencakup bank, bank perkreditan rakyat (BPR), dan lembaga keuangan non-bank (LKNB), namun OJK tidak mencakup koperasi simpan pinjam, lembaga keuangan, mikro dan BMPT.[12]
Kendati demikian, terlepas dari persoalan-persoalan di atas, pemerintah dan DPR telah memilih sistem OJK sebagai model pengaturan dan pengawasan sektor keuangan di Indonesia. Oleh karena itu, perdebatan konseptual seputar keberadaan OJK malah cenderung akan menciptakan suasana yang kontraproduktif. Hal yang terpenting saat ini adalah bagaimana agar OJK bisa bekerja dan menjalankan fungsinya dengan baik dan mengupayakan agar OJK mampu membangun kepercayaan publik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya secara baik. Hal ini mengandaikan bahwa OJK harus memiliki SDM dan sistem yang dapat menopang perkembangan industri sektor keuangan di Indonesia.

Menakar Efektifitas Pengawasan OJK Terhadap Perbankan Syariah
Perkembangan perekonomian global telah mendorong peningkatan fungsi perbankan. Sebagai lembaga keuangan, perbankan memegang peranan yang sangat penting dalam suatu sistem keuangan negara. Bank merupakan badan usaha yang berfungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat, baik dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kredit kepada masyarakat. Melalui fungsi perbankan ini diharapkan dapat meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat sebagai tujuan Negara Indonesia.
Dalam kenyataannya, struktur sektor keuangan di Indonesia didominasi oleh sektor perbankan. Luasnya lingkup sektor perbankan merupakan catatan khusus dalam pembentukan sistem pengawasan. Selain biaya pengawasan yang besar, waktu yang dibutuhkan relatif lama untuk sistem pengawasan dapat mapan dalam mengawasi bank, baik sumberdaya manusia maupun teknologi. Sektor perbankan harus diawasi setiap saat karena perannya yang sentral dalam sektor keuangan. Kegagalan yang terjadi pada satu bank dapat berdampak buruk bagi sektor keuangan secara keseluruhan. Hal tersebut diminimalisasi dengan pemantauan secara terus menerus oleh lembaga yang berwenang.
Sistem pengawasan memerlukan akuntabilitas, responsibiltas, objektivitas, kompetensi, transparansi dan independensi serta kualitas integritas pengawasan yang kuat dan kepercayaan masyarakat. Jika variabel-variabel ini tidak dimiliki oleh sistem pengawasan, maka dapat dipastikan efektivitas pengawasan akan terancam. Kasus krisis perbankan pada tahun 1997/1998 yang menelan uang rakyat lebih Rp. 800 trilyun, kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), Skandal Bank Bali, Bank Century, Bank Global dan beberapa contoh lainnya merupakan beberapa bukti dari kegagalan Bank Indonesia (BI) dalam mengawasi sektor lembaga keuangan bank di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, bahwa Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat[13]—tujuan pembentukan OJK ini juga disebutkan secara spesifik dalam Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2011 dengan redaksi yang sama.[14] Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional.
Bentuk OJK itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 Ketentuan Umum butir Nomor 1 UU No. 21 Tahun 2011, yang menyatakan bahwa “Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.[15] Sedangkan fungsi OJK disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011, “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.”[16] Ruang lingkup tugas pengaturan dan pengawasan tersebut dijelaskan dalam Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2011, “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”[17]
Dengan demikian, melalui pembentukan OJK, pengaturan dan pengawasan bank akan dilakukan oleh suatu lembaga baru, independen, akuntable, memiliki integritas dan bersih dari berbagai kepentingan dan budaya negatif yang selama ini kerap dipamerkan oleh Bank Indonesia. Industri perbankan adalah industri vital yang harus dijaga kelancaran dan sistemnya agar proses transaksi ekonomi serta pembangunan nasional bisa berjalan dengan baik. Melalui pengawasan OJK, diharapkan budaya budaya feodal yang berjalan selama ini dapat dikebumikan dan dibangun suatu sistem pengawasan perbankan yang bisa melindungi industri perbankan, sistem pembayaran dan menjamin keamanan nasabah.[18]
Sebagaimana telah dimaklum, industri perbankan syariah nasional memperlihatkan pertumbuhan yang semakin pesat beberapa waktu belakangan ini. Oleh karena itu, pengawasan terhadap perbankan syariah yang lebih komprehensif dan efektif diperlukan seiring dengan bertambahnya pelaku pasar, varian produk/jasa layanan, serta kemajuan teknologi yang semakin inovatif dan kompleks. Hal ini demi terwujudnya sistem perbankan syariah yang sehat guna mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan perekonomia nasional secara umum. Dengan demikian, dalam rangka penguatan dan ketahanan dan kesinambungan bisnis industri perbankan syariah, penerapan metode pengawasan secara efektif diharapkan mampu mendeteksi sedini mungkin risiko-risiko yang dihadapi perbankan syariah.
Namun masa depan pertumbuhan industri perbankan syariah nasional sempat diinterupsi oleh kekhawatiran dan kegelisahan beberapa kalangan ketika pengaturan dan pengawasan perbankan beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan. Menurut Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, KH. Ma’ruf Amin, UU OJK masih tidak bunyi atau silent terhadap jasa keuangan berbasis syariah. Pasalnya, dalam UU OJK ini, kata syariah hanya terdapat satu kali saja, yaitu pada Pasal 1 Ketentuan Umum butir Nomor 5.[19] Pasal tersebut menyebutkan, “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.”
Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Halim Alamsyah, UU OJK Nomor 21 Tahun 2011 memang tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai cetak biru pengembangan industri perbankan syariah. Hal ini berbeda dengan Bank Indonesia yang telah memiliki Direktorat Perbankan Syariah. Oleh karena itu, muncul asumsi bahwa pertumbuhan perbankan syariah mungkin saja dapat terhambat, karena dalam struktur organisasi OJK memang tidak secara tegas menyebutkan bentuk pengembangan, pengaturan, pengawasan dan penelitian mengenai jasa keuangan syariah.[20]
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Riawan Amin, lebih mengkhawatirkan perihal susunan keanggotaan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) yang sedang menunggu pengesahan dari DPR. Amin menilai susunan keanggotaan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) tidak memiliki spirit keberpihakan terhadap industri perbankan syariah. Hal ini diyakini akan mengurangi efektivitas pembentukan OJK dalam mengawasi perbankan dan lembaga keuangan secara nasional.[21] Dengan nada yang sama, Direktur Utama PT Bank Syariah Mandiri (BSM), Yuslam Fauzi menyatakan bahwa susunan anggota DK-OJK belum menunjukkan spirit keberpihakan OJK terhadap industri perbankan syariah. Yuslam menilai, keanggotaan OJK belum merepresentasikan keterlibatan bank syariah sebagai lembaga keuangan.[22]
Di lain pihak, Direktur Utama Bank Mega Syariah, Beny Witjaksono, menilai kehadiran OJK tidak akan menorehkan pengaruh yang terlalu signifikan terhadap perbankan syariah. Baginya, hal yang harus diperhatikan adalah bahwa selama ini regulasi telah disusun baik, tapi pelaksanaannya belum maksimal. Beny menandaskan bahwa untuk memelihara efektifitas OJK dalam pengawasan perbankan syariah, OJK diharapkan tetap mempertahankan sistem dan mekanisme yang sekarang telah berjalan dengan baik, termasuk hubungan antara lembaga regulator dengan lembaga fatwa, yang dalam hal ini adalah Dewan Syariah Nasional–MUI.[23]
Senada dengan Beny, Sofyan Syafri Harahap, pengamat ekonomi syariah, menandaskan bahwa lembaga keuangan syariah seperti bank tampaknya tak terlalu berpengaruh oleh perubahan otoritas pengawasan baru OJK. Pasalnya, lembaga keuangan syariah berada pada posisi manejemen risiko yang lebih baik dari lembaga konvensional yang penuh produk derivatif dan tindakan spekulatif. Menurutnya, hal yang dapat dilakukan lembaga keuangan syariah saat ini adalah tetap mengikuti aturan perinsip keuangan sesuai syariah dan bertindak profesional.[24]
Pelbagai pandangan di atas bagaimanapun perlu menjadi pertimbangan segenap pihak yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan dan implementasi OJK, khususnya dalam kaitannya dengan perbankan syariah. Terlepas dari apapun bentuk OJK yang nantinya akan digunakan, satu hal mendasar yang akan berperan besar dalam hal pengawasan lembaga keuangan adalah adanya koordinasi antar lembaga terkait. Koordinasi akan semakin penting ketika menyangkut prosedur antisipasi dan penanggulangan terhadap bahaya krisis ekonomi. Meski idealnya koordinasi dan kerjasama selalu mewarnai hubungan antar lembaga pemerintah, namun tidak dipungkiri bahwa di dunia nyata terjadi rivalitas antar lembaga pemerintah tersebut. Rivalitas ini seringkali disebabkan oleh egosentris institusi yang bersumber pada penentuan tugas pokok fungsi (TUPOKSI) lembaga pemerintah. Tupoksi sebuah institusi akan menjadi dasar bagi penentuan tugas, tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing aparat yang bekerja di institusi tersebut. Tugas, tanggung jawab dan wewenang aparat ini pada akhirnya akan membentuk outcome measures yang akan digunakan untuk mengevaluasi kinerja aparat tersebut. Permasalahan koordinasi semakin kompleks ketika TUPOKSI seringkali tidak mensyaratkan pelaksanaan koordinasi dengan lembaga lain atau dengan kata lain bahwa koordinasi dengan lembaga lain tidak dianggap sebagai kinerja sebuah lembaga maupun aparat yang bekerja di dalamnya. Implikasinya para aparat hanya fokus pada tugas mereka pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar yang hanya akan bisa diraih jika terjadi koordinasi antar lembaga pemerintah.
Dalam konteks ini, efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankan syariah sangat bergantung pada koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan perbankan syariah. Sebagaimana diketahui, terdapat perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, yaitu bank syariah dalam operasional kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, sementara bank konvensional berdasarkan prinsip bunga. Perbedaan ini mengakibatkan perbedaan yang mendasar dalam struktur corporate governance dan sistem pengawasan dalam kegiatan syariah. Pengawasan perbankan syariah pada dasarnya memiliki dua sistem, yaitu: (1) pengawasan dari aspek keuangan, kepatuhan pada perbankan secara umum dan prinsip kehati-hatian bank; dan (2) pengawasan prinsip syariah dalam kegiatan operasional bank.[25]
Oleh karena itu, struktur kepengawasan dalam perbankan syariah terdiri dari dua sistem berikut: (1) sistem pengawasan internal, yang terdiri atas unsur-unsur Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, Dewan Audit, Dewan Pengawas Syariah (DPS), Direktur Kepatuhan, dan SKAI-Internal Syariah Review. Sistem pengawasan internal ini lebih mengatur ke dalam dan dilakukan agar terdapat mekanisme dan sistem kontrol untuk kepentingan manajemen; dan (2) sistem pengawasan eksternal, yang terdiri atas unsur Bank Indonesia (BI), Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Stakeholder. Sistem pengawasan eksternal ini pada dasarnya diorientasikan untuk memenuhi kepentingan nasabah dan publik secara umum.
Pasca diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sistem pengawasan eksternal yang sebelumnya ditangani oleh BI secara otomatis akan digantikan oleh OJK—tentunya setelah struktur organisasi dan keanggotaan DK-OJK terbentuk nanti. Oleh karena itu, dalam rangka menjamin pemenuhan prinsip syariah dalam operasional perbankan syariah, OJK diharapkan dapat berkoordinasi dengan DSN dan DPS. Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diharapkan dapat membantu pihak-pihak terkait seperti Departemen keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan atau ketentuan untuk lembaga keuangan syariah. Tugas dan kewenangan DSN antara lain: menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan; mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah; dan mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.[26] Sementara DPS merupakan lembaga di bawah DSN yang bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS merupakan suatu badan yang didirikan dan ditempatkan pada bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah untuk memastikan bahwa operasional bank syariah tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah.[27]
Dengan demikian, peranan DSN dan DPS begitu penting dalam pengawasan perbankan syariah. DPS memastikan kegiatan operasional, produk dan jasa bank syariah senantiasa sesuai dengan prinsip syariah. Sedangkan DSN merupakan lembaga yang memberikan rekomendasi anggota DPS yang memiliki keahlian dan kompetensi syariah yang memadai dan menerbitkan fatwa produk dan jasa bank syariah yang bersifat nasional sehingga dapat dijadikan pedoman yang seragam bagi DPS. Dengan kata lain, DSN dan DPS merupakan lembaga yang mengarahkan bank syariah untuk menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatannya. Oleh karena itu, DSN dapat memberikan teguran jika ada lembaga ekonomi tertentu yang menyimpang dari hukum yang telah ditetapkan. Jika lembaga yang bersangkutan tidak mengindahkan teguran yang diberikan, maka DSN dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas untuk memberikan sanksi hukum.[28] Sesuai dengan amanat UU Nomor 21 Tahun 2011, otoritas dimaksud adalah OJK. Oleh karena itu, komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan DSN menjadi suatu keniscayaan yang harus dipenuhi. Demikian pula, terkait dengan keanggotaan DPS yang sebelumnya ditetapkan oleh BI berdasarkan rekomendasi dari DSN, maka ke depan penetapan itu akan dilakukan oleh OJK.
Salah satu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan DSN tersebut adalah dengan cara mengadakan unit atau direktorat perbankan syariah dalam struktur organisasi OJK. Modelnya mungkin saja mirip dengan Direktorat Perbankan Syariah yang berada di bawah naungan Bank Indonesia. Sebab, tanpa adanya struktur yang jelas yang menjalankan fungsi pengawasan terdapat aspek lembaga keuangan syariah sangat sulit untuk mengharapkan efektifitas pengawasan OJK terhadap lembaga perbankan syariah.
Sebagaimana disinggung di atas, problem lain yang cukup krusial dalam kaitannya dengan efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankan syariah adalah menyangkut SDM yang nantinya masuk dalam keanggotaan DK-OJK. Idealnya, dalam susunan keanggotan DK-OJK terdapat salah satu perwakilan yang benar-benar menguasai ekonomi syariah, memahami kondisi industri keuangan dan perbankan syariah, dan memiliki pengalaman di lapangan dalam bidang perbankan syariah. Poin yang perlu dicatat dalam konteks ini adalah bahwa kompleksitas sistem pengawasan dalam hal SDM tidak hanya terletak pada kebutuhannya yang besar, namun juga pengembangan tacit knowledge yang dimiliki oleh setiap pengawas. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa poin yang harus diperhatikan: (1) seorang pengawas harus mengerti misi yang diemban oleh lembaga pengawas tempatnya bernaung (know the mission); (2)seorang pengawas harus mengerti perusahaan yang diawasinya (know the entity). Seorang pengawas wajib mengerti seluk beluk pengawasan sampai ke jenjang perusahaan. Argumennya, setiap perusahaan memiliki sistem inti (core system) yang unik yaitu berbeda antara satu dengan lainnya; (3)seorang pengawas harus mengerti teknik pengawasan dan bagaimana untuk melakukannya (know supervision technique and how to do it); dan (4) seorang pengawas harus membangun karakter yang kuat (character building). Berdasarkan poin-poin tersebut—terutama poin ke 2—pembentukan keanggotaan DK-OJK sepatutnya mempertimbangkan SDM yang memiliki komitmen dan pemahaman mengenai keuangan dan perbankan syariah, sehingga diharapkan OJK memiliki skema dan prosedur dalam pengembangan perbankan syariah.

Penutup
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, termasuk lembaga keuangan perbankan. Alhasil, keberadaan OJK secara otomatis akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di masa-masa mendatang.
Dengan demikian, efektifitas pengawasan OJK terhadap perbankan syariah sangat bergantung pada koordinasi antara OJK dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan perbankan syariah, seperti DSN-MUI dan DPS.Salah satu upaya untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi antara OJK dengan DSN tersebut adalah dengan cara mengadakan unit atau direktorat perbankan syariah dalam struktur organisasi OJK. Di samping itu, pembentukan keanggotaan DK-OJK sepatutnya mempertimbangkan SDM yang memiliki komitmen dan pemahaman mengenai keuangan dan perbankan syariah, sehingga diharapkan OJK memiliki skema dan prosedur dalam pengembangan perbankan syariah.

DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Syafi’i, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2005.
Batunanggar, Sukarela, “Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia”, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4, Nomor 3, Desember 2006.
Haqqi, Abdurrahman Raden Aji, “Shariah Advisory Board in Islamic Financial Institution in the Eye of Asian Islamic Banks Law: A Must?”, Makalah Disampaikan pada ASLI Comprence, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2007.
Harahap, Sofyan Syafri, “Pengawasan Bank: Selamat Datang OJK”, dalam http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-selamat-datang-ojk.html, diakses pada 10 April 2012.
Hidayati, Maslihati Nur, “Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi tentang Pengawasan Bank Berlandaskan pada Prinsip-prinsip Islam”, dalam Lex Jurnalica, Vol. 6, No. 1, Desember 2008.
Himpunan Fatwa DSN, Edisi Kedua, diterbitkan atas kerjasama DSN-MUI dengan Bank Indonesia.
Juoro, Umar, “Perkembangan Perbankan Islam Setelah Krisis Ekonomi di Indonesia”, dalam Greg Fealy dan Sally White, Ustadz Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer, (terj.) Ahmad Muhajir, Depok: Komunitas Bambu, 2012.
Levine, R., “Financial Development and Economic Growth: Views and Agenda,” dalam Journal of Economic Literature, Vol. 35, 1997.
Llewellyn, D. T, 2006, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision: The Basic Issues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning Supervisory Structures with Country Needs”, Washington DC, 6 dan 7 Juni 2006.
Mayes, David G., Liisa, Halme dan Aarno, Liuksila, Improving Banking Supervision, Palgrave, 2001.
Mishkin, Frederick, “Financial Policies and the Prevention of Financial Crises in Emerging Market Countries”, NBER Working Paper No. 8087, January 2001.
Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan.
Nasution, A., “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda kedepan”, Makalah disampaikan  dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Pandangan Fraksi-fraksi dalam Rapat Pembahasan RUU tentang OJK.
Rifai, Moh., Konsep Perbankan Syariah, Semarang: CV Wicaksana, 2002.
Sitompul, Zulkarnain, “Menyambut Khadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, Pilars, No. 02/Th. VII/12-18 Januari 2004.
Stiglitz, J., “The Role of the State in Financial Markets”, Prosiding dalam World Bank Annual Conference on Development Economics Supplement, 1993, 19-61.
Sunandar, Heri, “Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’a Supervisory Board) dalam Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam Hukum Islam, Vol. IV, No. 2, Desember 2005.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999.
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999.
Susanto, Burhanuddin, Hukum Perbankan Syari’ah Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2008.
Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, Alternatif Struktur OJK Yang Optimum: Kajian Akademik, 23 Agustus 2010, dalam http://xa.yimg.com/kq/groups/24063110/2095520493/name/KajiAkademikOJK-UI-UGMversi+230810.pdf, diakses pada 10 April 2012.
Watni, Syaiful, Suradji, dan Sutriya, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003.


[1] Lihat R. Levine, “Financial Development and Economic Growth: Views and Agenda,” dalam Journal of Economic Literature, Vol. 35, 1997, h. 688-726.
[2] Lihat Stiglitz, J., “The Role of the State in Financial Markets”, Prosiding dalam World Bank Annual Conference on Development Economics Supplement, 1993, h. 19-61.
[3] Lihat David G. Mayes, Halme Liisa dan Liuksila Aarno, Improving Banking Supervision, (Palgrave, 2001), dalam Sukarela Batunanggar, “Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia”, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 4, Nomor 3, Desember 2006, h. 2.
[4] Lihat Frederick Mishkin, “Financial Policies and the Prevention of Financial Crises in Emerging Market Countries”, NBER Working Paper No. 8087, January 2001, dalam Sukarela Batunanggar, “Jaring Pengaman Keuangan”, h. 2.
[5] Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, Alternatif Struktur OJK Yang Optimum: Kajian Akademik, 23 Agustus 2010, h. 23-24, dalam http://xa.yimg.com/kq/groups/24063110/2095520493/name/KajiAkademikOJK-UI-UGMversi+230810.pdf, diakses pada 10 April 2012.
[6] Lihat D. T. Llewellyn, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision: The Basic Issues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning Supervisory Structures with Country Needs”, Washington DC, 6 dan 7 Juni 2006.
[7] Lihat A. Nasution, “Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum, dan Agenda ke Depan”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
[8] Lihat D. T. Llewellyn, “Institutional Structure of Financial Regulation and Supervision: The Basic Issues,” Paper dipresentasikan pada World Bank seminar “Aligning Supervisory Structures with Country Needs” Washington DC, 6 dan 7 Juni 2006.
[9] Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
[10] Lihat Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan; Pandangan Fraksi-fraksi Dalam Rapat Pembahasan RUU tentang OJK; dan Zulkarnain Sitompul, “Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, Pilars, No. 02/Th. VII/12-18 Januari 2004.
[11] Sunarsip, “Mewujudkan Otoritas Jasa Keuangan yang Efektif”, dalam http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/470989/, diakses pada 10 April 2012.
[13] Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
[14] Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
[15] Lihat Pasal 1 Ketentuan Umum butir Nomor 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
[16] Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
[17] Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
[18] Sofyan Syafri Harahap, “Pengawasan Bank: Selamat Datang OJK”, dalam http://sofyan.syafri.com/index.php/my-articles/4-economics/12-pengawasan-bank-selamat-datang-ojk.html, diakses pada 10 April 2012.
[19] Lihat “MUI: OJK Belum Berpihak Kepada Perbankan Syariah”, http://www.infobanknews.com/2012/02/mui-ojk-belum-berpihak-kepada-perbankan-syariah/, diakses pada 10 April 2012.
[22] Lihat “Dirut BSM: OJK Mesti Miliki Direktorat Perbankan Syariah”, http://www.ipotnews.com/index.php?jdl=Dirut_BSM__OJK_Mesti_Miliki_Direktorat_Perbankan_Syariah&level2=&level3=&level4=&id=1162573&urlImage=, diakses pada 10 April 2012.
[25] Maslihati Nur Hidayati, “Dewan Pengawas Syariah dalam Sistem Hukum Perbankan: Studi tentang Pengawasan Bank Berlandaskan pada Prinsip-prinsip Islam”, dalam Lex Jurnalica, Vol. 6, No. 1, Desember 2008, h. 68.
[26] Lihat Himpunan Fatwa DSN, Edisi Kedua, diterbitkan atas kerjasama DSN-MUI dengan Bank Indonesia, h. 281-284; dan Abdurrahman Raden Aji Haqqi, “Shariah Advisory Board in Islamic Financial Institution in the Eye of Asian Islamic Banks Law: A Must?”, Makalah Disampaikan pada ASLI Comprence, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2007.
[27] Ketentuan Pasal 20 ayat (2) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999. Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia ini, Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dalam menjalankan fungsinya sebagai bagian utuh dalam managemen bank berdasarkan prinsip syariah wajib mengikuti fatwa DSN.
[28] Lihat Heri Sunandar, “Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’a Supervisory Board) dalam Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam Hukum Islam, Vol. IV, No. 2, Desember 2005, h. 159-172; dan Umar Juoro, “Perkembangan Perbankan Islam Setelah Krisis Ekonomi di Indonesia”, dalam Greg Fealy dan Sally White, Ustadz Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer, (terj.) Ahmad Muhajir, (Depok: Komunitas Bambu, 2012), h. 233. Untuk informasi lebih lanjut tentang posisi dan fungsi DSN dan DPS dalam perbankan syariah, lihat pula Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005); Syaiful Watni, Suradji, dan Sutriya, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2003); Moh. Rifai, Konsep Perbankan Syariah, (Semarang: CV Wicaksana, 2002); dan Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2008).


--pic source: iaei-pusat.org

1 komentar:

  1. Nah gini dong buat artikelnya, niat banget hehe..
    Setuju banget dengan adanya OJK (Otoritas Jasa Keuangan), fintech sekarang mempunyai peraturan yang lebih jelas. Singkatnya kita sebagai user atau pendana jadi lebih aman bertransaksi dan pakai layanan keuangan dari fintech.. keep up the good work untuk penulis. Sebagai bahan referensi tambahan seputar dunia fintech dan OJK boleh disimak ini :

    > Prospek peer to peer lending
    > Peer to peer lending yang aman
    > Investasi yang aman dari inflasi
    > Perbedaan peer to peer lending dengan payday loan
    > Daftar investasi bodong

    Semoga membantu untuk kemajuan literasi penulis juga ya!

    Thanks!

    BalasHapus